Senin, 30 Mei 2011

Muhammad I Al-Mahdi..pemimpin di tengah kemelut

Sejarah Para Khalifah: Muhammad II Al-Mahdi, Pemimpin di Tengah Kemelut
Senin, 30 Mei 2011 11:30 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Pemimpin memegang peran penting bagi sebuah rezim. Ia bisa menjadi penyebab maju dan runtuhnya kekuasaan. Walau bukan khalifah, namun Muhammad bin Abu Amir yang dikenal dengan Mulk Al-Manshur merupakan tokoh sentral Daulah Umayyah di Andalusia.

Hanya tujuh tahun setelah tokoh ini wafat, masa keemasan Islam di Andalusia terus memudar. Bahkan menjadi pangkal kemelut yang berujung pada keruntuhan kerajaan ini. Selama 29 tahun sejak wafatnya Mulk Al-Manshur, pemerintahan Bani Umayyah mengalami kemelut berkepanjangan. Khalifah datang dan pergi silih berganti, diwarnai pula dengan kekerasan dan ambisi.

Ketika Mulk Al-Manshur meninggal dunia, posisinya segera digantikan oleh putranya, Abdul Malik bin Muhammad bin Abu Amir dengan gelar Mulk Al-Muzhafir. Kedudukannya dikukuhkan oleh Khalifah Hisyam II.

Seperti ayahnya, ia adalah seorang negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Ia menjalankan kebijakan sang ayah sebelumnya. Selama tujuh tahun berkuasa, pihak Kristen di bagian utara Spanyol tidak bisa berbuat apa-apa. Masa pemerintahannya itu dkenal dengan As-Sabi'.

Ketika Mulk Al-Muzhafir meninggal pada 399 H, kedudukannya digantikan oleh saudaranya, Abdurrahman bin Muhammad bin Abu Amir. Ia dikenal dengan An-Nashir Lidinillah. Kedudukannya pun dikukuhkan oleh Khalifah Hisyam II.

Pemimpin baru ini berbeda dengan ayah dan saudaranya. Dalam waktu singkat, ia justru meminta pengukuhan dirinya sebagai khalifah pengganti Hisyam II. Ironisnya, permintaan ini disetujui oleh Khalifah Hisyam II. Akibatnya, muncul kemarahan dan dendam di kalangan keluarga Umayyah sendiri.

Pada 399 H, Mulk An-Nashir berangkat dengan pasukan besarnya untuk mengamankan wilayah Galicia di bagian utara Spanyol. Sepeninggalnya, para pemuka Bani Umayyah memecat Hisyam II dan mengangkat Muhammad bin Hisyam bin Abdul Jabbar bin Abdurrahman III sebagai khalifah dengan gelar Khalifah Muhammad II Al-Mahdi.

Mantan Khalifah Hisyam II yang diberhentikan sempat melarikan diri dari Cordoba. Ada yang menyebutkan ia melarikan diri ke pelabuhan Malaga dan menetap di sana beberapa lama. Ketika mendengar pergantian itu, Mulk An-Nashir yang sedang berada di Galicia segera kembali menuju Cordoba. Ketika itu terjadi pengepungan. Tanpa diduga olehnya, ia pun dibunuh dalam peristiwa itu.

Khalifah Muhammad II Al-Mahdi ternyata mengabaikan unsur Barbar yang menguasai lembaga ketentaraan. Bahkan ia melakukan tekanan-tekanan yang membangkitkan kemarahan mereka.

Tindakah Khalifah Al-Mahdi itu tidak dapat diterima oleh pihak Barbar. Mereka berinisiatif untuk mengangkat Hisyam bin Sulaiman bin Hakam II bin Abdurrahman III untuk menggantikan Khalifah Al-Mahdi.

Hal itu membangkitkan kemarahan Khalifah Al-Mahdi. Para pembesar Barbar banyak yang melarikan diri. Bahkan Khalifah Al-Mahdi sempat menangkap Hisyam bin Sulaiman dan saudaranya, Abu Bakar bin Sulaiman, lalu menjatuhkan hukuman mati.

Seorang keponakannya, Sulaiman bin Hakam bin Sulaiman sempat melarikan diri bersama pasukan Barbar. Oleh pihak Barbar, ia diresmikan sebagai khalifah dengan panggilan Khalifah Sulaiman Al-Mustain sebagai pemimpin Bani Umayyah di Andalusia yang ke-12.

Dengan pasukan besarnya, Khalifah Al-Mahdi mengepung kota Az-Zahra. Pertempuran sengit pun pecah. Pasukan Khalifah Al-Mustain terpaksa mengundurkan diri ke arah selatan menuju Algeciras dan bertahan di tempat itu. Di tempat ini pula kembali terjadi pertempuran. Pasukan Al-Mahdi porak-poranda dan terpaksa melarikan diri ke arah utara. Ia dikejar oleh pasukan Khalifah Al-Mustain.

Penduduk Cordoba yang mendengar berita itu merasa khawatir. Dengan segera mereka membuka pintu-pintu Cordoba untuk menyambut kedatangan Khalifah Al-Mustain. Dengan demikian, resmilah dirinya menjadi Khalifah Bani Umayyah ke-5 atau pemimpin ke-12.


Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Hisyam II Di bawah pemangku Kuasa

Sejarah Para Khalifah: Hisyam II, Di Bawah Pemangku Kuasa
Minggu, 29 Mei 2011 09:46 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah Khalifah Hakam II wfat, diangkatlah putranya, Hisyam II yang kala itu masih berusia 10 tahun untuk menjadi khalifah. Ia menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Bani Umayyah di Andalusia yang ke-10. Atau jika dihitung secara kekhalifahan resmi, ada yang menyebutnya sebagai khalifah ke-3.

Karena Hisyam II masih sangat muda, maka urusan pemerintahan dikendalikan oleh Mursyih Al-Amri (pemangku kuasa), yaitu Mughirah bin Abddurahman—saudara Hakam II. Namun tokoh ini tak lama memegang kendali. Ia dibunuh oleh komplotan Ja'far bin Utsman yang sejak pemerintahan Khalifah Hakam II memangku jabatan Al-Hajib.

Jabatan Al-Hajib dalam ketatanegaraan Bani Umayyah kala itu adalah orang yang bertanggung jawab terhadap Rumah Tangga Istana. Dalam kehidupan istana Raja Inggris kita mengenal istilah Chamberlain. Karena khalifah adalah pemegang kekuasaan tertinggi, maka ia harus berhubungan erat dengan para pejabat Al-Hajib. Di sisi lain, para pejabat Al-Hajib ini pun sangat menentukan beberapa kebijakan penting istana.

Pembunuhan atas Mughirah itu menyebabkan terjadinya perebutan kekuasaan. Peristiwa ini merupakan noda hitam pertama dalam lembaran sejarah Bani Umayyah di Andalusia. Bagi Daulah Abbasiyah di Baghdad, peristiwa seperti itu mulai muncul sejak pembunuhan Khalifah Al-Mutawakkil. Setelah itu terjadi pertumpahan darah dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Umumnya, yang memegang peranan penting dalam peristiwa seperti ini adalah mereka yang dikenal dengan sultan atau pemegang kuasa. Sultan inilah yang biasanya mengendalikan khalifah.

Al-Wazir Muhammad bin Abu Amir yang menjabat sebagai pelaksana kekuasaan pada masa Khalifah Hakam II, segera bertindak mengambil-alih seluruh kekuasaan, termasuk jabatan Al-Hajib. Dialah yang menjabat Mursyih Al-Amri, pengganti Mughiran bin Abdurrahman.

Tokoh besar inilah yang selanjutnya berperan penting dalam memulihkan kondisi Bani Umayyah di Andalusia. Namanya pun disebut-sebut banyak orang. Belakangan ia menyebut dirinya Al-Mulk (raja); Al-Mulk Al-Manshur. Sejak itulah istilah Al-Mulk dikenal dalam lintasan sejarah Islam. Ketika beranjak dewasa, Khalifah Hisyam II mengukuhkan jabatan itu. Sehingga kekuasaan khalifah pun amat terbatas. Ia nyaris menjadi "tukang khutbah" dan "tukang stempel".

Dengan demikian, lahirlah generasi baru yang kendalinya melebihi wewenang khalifah. Jika di masa pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad ada istilah sultan, maka di masa Daulah Umayyah di Andalusia, penguasa baru ini dikenal dengan Al-Mulk.

Masa kekuasaan Al-Mulk Al-Manshur berlangsung cukup lama. Ia memerintah selama 27 tahun. Dalam rentang masa itu, ia mengukir prestasi baik. Ia berhasil menciptakan kemakmuran bagi rakyat dengan mengembangkan bidang pertanian, perdagangan, dan dunia usaha. Ia juga berhasil melebarkan sayap kekuasaannya keluar.
Hal penting yang dicatat sejarah adalah perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan perpustakaan. Ia sangat gemar mengumpulkan karya-karya ilmiah dari berbagai negeri. Hal ini merupakan kegemaran Khalifah Hakam II sebelumnya.

Ia juga memberikan penghargaan yang baik kepada para sarjana dan ilmuwan. Hal ini bisa dimaklumi, sebab sebelumnya ia adalah seorang ahli hukum yang menjabat sebagai hakim agung.

Kebijakan Al-Mulk Al-Manshur lainnya yang dicatat sejarah adalah tindakannya memberikan fasilitas bagi suku-suku Barbar dalam lembaga ketentaraan untuk menggantikan unsur-unsur Arab. Ia mengundang Bani Zenata dan Bani Adawa dari Afrika Barat untuk membentuk ketentaraan di Andalusia. Ia juga memberikan jabatan-jabatan tinggi pada tokoh-tokoh Barbar tersebut.

Ia juga membentuk lembaga tinggi kepolisian negara yang dikenal dengan Al-Urafak. Kota satelit Az-Zuhra yang dibangun Khalifah Hakam II di luar Cordoba dengan bangunan-bangunan mengagumkan, diperluas oleh Al-Mulk Al-Manshur. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke tempat itu.

Ketika terjadi penyerangan dari pihak Count of Castile Don Garcia Fernandez, Muhammad bin Abu Amir melakukan serangan balasan. Pertempuran panjang yang dikenal dengan Pertempuran Musim Panas pun berlangsung. Pada peperangan ini, pihak Cordoba meraih kemenangan.

Meski menang, bukan berarti pihak musuh menghentikan perlawanan. Hampir setiap tahun terus terjadi serangan. Kembali dari sebuah peperangan, pasukan Al-Mulk dihadang musuh di suatu tempat bernama Calatanazar. Ia gugur dalam peperangan itu, dan dimakamkan di sebuah kota bernama Salima. Al-Muk Al-Manshur wafat pada usia 65 tahun. Sepeninggalnya terjadi kemelut.


Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Hisyam II Di bawah pemangku Kuasa

Sejarah Para Khalifah: Hisyam II, Di Bawah Pemangku Kuasa
Minggu, 29 Mei 2011 09:46 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah Khalifah Hakam II wfat, diangkatlah putranya, Hisyam II yang kala itu masih berusia 10 tahun untuk menjadi khalifah. Ia menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Bani Umayyah di Andalusia yang ke-10. Atau jika dihitung secara kekhalifahan resmi, ada yang menyebutnya sebagai khalifah ke-3.

Karena Hisyam II masih sangat muda, maka urusan pemerintahan dikendalikan oleh Mursyih Al-Amri (pemangku kuasa), yaitu Mughirah bin Abddurahman—saudara Hakam II. Namun tokoh ini tak lama memegang kendali. Ia dibunuh oleh komplotan Ja'far bin Utsman yang sejak pemerintahan Khalifah Hakam II memangku jabatan Al-Hajib.

Jabatan Al-Hajib dalam ketatanegaraan Bani Umayyah kala itu adalah orang yang bertanggung jawab terhadap Rumah Tangga Istana. Dalam kehidupan istana Raja Inggris kita mengenal istilah Chamberlain. Karena khalifah adalah pemegang kekuasaan tertinggi, maka ia harus berhubungan erat dengan para pejabat Al-Hajib. Di sisi lain, para pejabat Al-Hajib ini pun sangat menentukan beberapa kebijakan penting istana.

Pembunuhan atas Mughirah itu menyebabkan terjadinya perebutan kekuasaan. Peristiwa ini merupakan noda hitam pertama dalam lembaran sejarah Bani Umayyah di Andalusia. Bagi Daulah Abbasiyah di Baghdad, peristiwa seperti itu mulai muncul sejak pembunuhan Khalifah Al-Mutawakkil. Setelah itu terjadi pertumpahan darah dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Umumnya, yang memegang peranan penting dalam peristiwa seperti ini adalah mereka yang dikenal dengan sultan atau pemegang kuasa. Sultan inilah yang biasanya mengendalikan khalifah.

Al-Wazir Muhammad bin Abu Amir yang menjabat sebagai pelaksana kekuasaan pada masa Khalifah Hakam II, segera bertindak mengambil-alih seluruh kekuasaan, termasuk jabatan Al-Hajib. Dialah yang menjabat Mursyih Al-Amri, pengganti Mughiran bin Abdurrahman.

Tokoh besar inilah yang selanjutnya berperan penting dalam memulihkan kondisi Bani Umayyah di Andalusia. Namanya pun disebut-sebut banyak orang. Belakangan ia menyebut dirinya Al-Mulk (raja); Al-Mulk Al-Manshur. Sejak itulah istilah Al-Mulk dikenal dalam lintasan sejarah Islam. Ketika beranjak dewasa, Khalifah Hisyam II mengukuhkan jabatan itu. Sehingga kekuasaan khalifah pun amat terbatas. Ia nyaris menjadi "tukang khutbah" dan "tukang stempel".

Dengan demikian, lahirlah generasi baru yang kendalinya melebihi wewenang khalifah. Jika di masa pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad ada istilah sultan, maka di masa Daulah Umayyah di Andalusia, penguasa baru ini dikenal dengan Al-Mulk.

Masa kekuasaan Al-Mulk Al-Manshur berlangsung cukup lama. Ia memerintah selama 27 tahun. Dalam rentang masa itu, ia mengukir prestasi baik. Ia berhasil menciptakan kemakmuran bagi rakyat dengan mengembangkan bidang pertanian, perdagangan, dan dunia usaha. Ia juga berhasil melebarkan sayap kekuasaannya keluar.
Hal penting yang dicatat sejarah adalah perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan perpustakaan. Ia sangat gemar mengumpulkan karya-karya ilmiah dari berbagai negeri. Hal ini merupakan kegemaran Khalifah Hakam II sebelumnya.

Ia juga memberikan penghargaan yang baik kepada para sarjana dan ilmuwan. Hal ini bisa dimaklumi, sebab sebelumnya ia adalah seorang ahli hukum yang menjabat sebagai hakim agung.

Kebijakan Al-Mulk Al-Manshur lainnya yang dicatat sejarah adalah tindakannya memberikan fasilitas bagi suku-suku Barbar dalam lembaga ketentaraan untuk menggantikan unsur-unsur Arab. Ia mengundang Bani Zenata dan Bani Adawa dari Afrika Barat untuk membentuk ketentaraan di Andalusia. Ia juga memberikan jabatan-jabatan tinggi pada tokoh-tokoh Barbar tersebut.

Ia juga membentuk lembaga tinggi kepolisian negara yang dikenal dengan Al-Urafak. Kota satelit Az-Zuhra yang dibangun Khalifah Hakam II di luar Cordoba dengan bangunan-bangunan mengagumkan, diperluas oleh Al-Mulk Al-Manshur. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke tempat itu.

Ketika terjadi penyerangan dari pihak Count of Castile Don Garcia Fernandez, Muhammad bin Abu Amir melakukan serangan balasan. Pertempuran panjang yang dikenal dengan Pertempuran Musim Panas pun berlangsung. Pada peperangan ini, pihak Cordoba meraih kemenangan.

Meski menang, bukan berarti pihak musuh menghentikan perlawanan. Hampir setiap tahun terus terjadi serangan. Kembali dari sebuah peperangan, pasukan Al-Mulk dihadang musuh di suatu tempat bernama Calatanazar. Ia gugur dalam peperangan itu, dan dimakamkan di sebuah kota bernama Salima. Al-Muk Al-Manshur wafat pada usia 65 tahun. Sepeninggalnya terjadi kemelut.


Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Hisyam II Di bawah pemangku Kuasa

Sejarah Para Khalifah: Hisyam II, Di Bawah Pemangku Kuasa
Minggu, 29 Mei 2011 09:46 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah Khalifah Hakam II wfat, diangkatlah putranya, Hisyam II yang kala itu masih berusia 10 tahun untuk menjadi khalifah. Ia menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Bani Umayyah di Andalusia yang ke-10. Atau jika dihitung secara kekhalifahan resmi, ada yang menyebutnya sebagai khalifah ke-3.

Karena Hisyam II masih sangat muda, maka urusan pemerintahan dikendalikan oleh Mursyih Al-Amri (pemangku kuasa), yaitu Mughirah bin Abddurahman—saudara Hakam II. Namun tokoh ini tak lama memegang kendali. Ia dibunuh oleh komplotan Ja'far bin Utsman yang sejak pemerintahan Khalifah Hakam II memangku jabatan Al-Hajib.

Jabatan Al-Hajib dalam ketatanegaraan Bani Umayyah kala itu adalah orang yang bertanggung jawab terhadap Rumah Tangga Istana. Dalam kehidupan istana Raja Inggris kita mengenal istilah Chamberlain. Karena khalifah adalah pemegang kekuasaan tertinggi, maka ia harus berhubungan erat dengan para pejabat Al-Hajib. Di sisi lain, para pejabat Al-Hajib ini pun sangat menentukan beberapa kebijakan penting istana.

Pembunuhan atas Mughirah itu menyebabkan terjadinya perebutan kekuasaan. Peristiwa ini merupakan noda hitam pertama dalam lembaran sejarah Bani Umayyah di Andalusia. Bagi Daulah Abbasiyah di Baghdad, peristiwa seperti itu mulai muncul sejak pembunuhan Khalifah Al-Mutawakkil. Setelah itu terjadi pertumpahan darah dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Umumnya, yang memegang peranan penting dalam peristiwa seperti ini adalah mereka yang dikenal dengan sultan atau pemegang kuasa. Sultan inilah yang biasanya mengendalikan khalifah.

Al-Wazir Muhammad bin Abu Amir yang menjabat sebagai pelaksana kekuasaan pada masa Khalifah Hakam II, segera bertindak mengambil-alih seluruh kekuasaan, termasuk jabatan Al-Hajib. Dialah yang menjabat Mursyih Al-Amri, pengganti Mughiran bin Abdurrahman.

Tokoh besar inilah yang selanjutnya berperan penting dalam memulihkan kondisi Bani Umayyah di Andalusia. Namanya pun disebut-sebut banyak orang. Belakangan ia menyebut dirinya Al-Mulk (raja); Al-Mulk Al-Manshur. Sejak itulah istilah Al-Mulk dikenal dalam lintasan sejarah Islam. Ketika beranjak dewasa, Khalifah Hisyam II mengukuhkan jabatan itu. Sehingga kekuasaan khalifah pun amat terbatas. Ia nyaris menjadi "tukang khutbah" dan "tukang stempel".

Dengan demikian, lahirlah generasi baru yang kendalinya melebihi wewenang khalifah. Jika di masa pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad ada istilah sultan, maka di masa Daulah Umayyah di Andalusia, penguasa baru ini dikenal dengan Al-Mulk.

Masa kekuasaan Al-Mulk Al-Manshur berlangsung cukup lama. Ia memerintah selama 27 tahun. Dalam rentang masa itu, ia mengukir prestasi baik. Ia berhasil menciptakan kemakmuran bagi rakyat dengan mengembangkan bidang pertanian, perdagangan, dan dunia usaha. Ia juga berhasil melebarkan sayap kekuasaannya keluar.
Hal penting yang dicatat sejarah adalah perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan perpustakaan. Ia sangat gemar mengumpulkan karya-karya ilmiah dari berbagai negeri. Hal ini merupakan kegemaran Khalifah Hakam II sebelumnya.

Ia juga memberikan penghargaan yang baik kepada para sarjana dan ilmuwan. Hal ini bisa dimaklumi, sebab sebelumnya ia adalah seorang ahli hukum yang menjabat sebagai hakim agung.

Kebijakan Al-Mulk Al-Manshur lainnya yang dicatat sejarah adalah tindakannya memberikan fasilitas bagi suku-suku Barbar dalam lembaga ketentaraan untuk menggantikan unsur-unsur Arab. Ia mengundang Bani Zenata dan Bani Adawa dari Afrika Barat untuk membentuk ketentaraan di Andalusia. Ia juga memberikan jabatan-jabatan tinggi pada tokoh-tokoh Barbar tersebut.

Ia juga membentuk lembaga tinggi kepolisian negara yang dikenal dengan Al-Urafak. Kota satelit Az-Zuhra yang dibangun Khalifah Hakam II di luar Cordoba dengan bangunan-bangunan mengagumkan, diperluas oleh Al-Mulk Al-Manshur. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke tempat itu.

Ketika terjadi penyerangan dari pihak Count of Castile Don Garcia Fernandez, Muhammad bin Abu Amir melakukan serangan balasan. Pertempuran panjang yang dikenal dengan Pertempuran Musim Panas pun berlangsung. Pada peperangan ini, pihak Cordoba meraih kemenangan.

Meski menang, bukan berarti pihak musuh menghentikan perlawanan. Hampir setiap tahun terus terjadi serangan. Kembali dari sebuah peperangan, pasukan Al-Mulk dihadang musuh di suatu tempat bernama Calatanazar. Ia gugur dalam peperangan itu, dan dimakamkan di sebuah kota bernama Salima. Al-Muk Al-Manshur wafat pada usia 65 tahun. Sepeninggalnya terjadi kemelut.


Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Sabtu, 28 Mei 2011

hakam II Pencinta buku dan sastra (9)

Sejarah Para Khalifah: Hakam II, Pencinta Buku dan Sastra
Jumat, 27 Mei 2011 11:03 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Pada usia 45 tahun, Hakam II diangkat sebagai Khalifah Daulah Umayyah Andalusia menggantikan ayahnya, Abdurrahman III. Jika Abdurrahman Ad-Dakhil dianggap sebagai khalifah pertama Daulah Umayyah di Andalusia, maka Hakam II adalah khalifah kesembilan.

Namun sebagian ahli sejarah menyebutkan, pemimpin Daulah Umayyah Andalusia dari Abdurrahman Ad-Dakhil hingga Abdullah bin Muhammad tidak disebut khalifah, tapi amir. Mereka baru menyematkan sebutan khalifah pada Abdurrahman III. Dengan demikian, Hakam II bisa disebut khalifah kedua Daulah Umayyah di Andalusia. Ia memerintah selama 17 tahun. Masa pemerintahannya cukup terpandang. Para ahli sejarah menyebut masa pemerintahannya dengan "zaman emas kesusastraan Arab di Spanyol".

Selain sukses membangun pemerintahan dalam negeri, Hakam II juga berhasil menjalin hubungan baik dengan pihak luar. Ia bisa menjalin hubungan dengan kerajaan Leon dan Navarre yang memang telah terikat perdamaian sebelumnya. Kedua kerajaan itu mengakui keberadaan Daulah Umayyah, dan mereka bersedia membayar pajak.

Bahkan Raja Sancho I dari Leon sempat berada di Cordoba selama dua tahun untuk mengobati tubuhnya yang menderita obesitas. Selama berada di kota itu, ia aman dan diberikan pelayanan yang baik.

Selain berhasil mengamankan wilayahnya, Hakam II juga meneruskan pembangunan perpustakaan Cordoba. Perpustakaan itu dibangun hingga menjadi perpustakaan terbesar di Eropa kala itu. Hakam II memang dikenal cinta buku. Ia sering mencari sendiri buku-buku yang sulit ditemukan.

Bahkan ia juga sering menulis surat untuk para penulis ternama. Ia juga tak segan-segan membayar naskah tulisan itu dengan harga yang mahal. Ia mempekerjakan orang-orang tertentu untuk mengelola perpustakaannya. Ia juga melindungi lembaga-lembaga kesusastraan dan memberikan hadiah bagi para sarjana.

Muhyiddin Al-Khayyath dalam kitabnya, Durus Tarikh Al-Islami, menyebutkan Abul Faraj—pujangga besar Arab kala itu—tengah menyusun kumpulan sajak dan lagu yang diberinama Al-Aghani. Mendengar hal itu, Hakam II segera mengirimkan utusan untuk menemui sang penulis. Naskah pertama karya itu dibayar dengan 1.000 dinar emas! Angka yang begitu besar. Tak heran kalau para ahli sejarah menyebut masa pemerintahannya dengan zaman bagi sastra Arab di Spanyol.

Khalifah Hakam II juga berhasil menghalau tantangan dari Daulah Fathimiyah yang inging merebut wilayah Afrika Barat. Setelah terjadi pertempuran selama empat tahun, di bawah pimpinan Panglima Ghalib, daerah itu bisa direbut kembali.

Pada 979 M, Khalifah Hakam II mengangkat Muhammad bin Abu Amir sebagai wazir, yang sebelumnya menjabat hakim agung. Saat itu, jabatan wazir mengepalai seluruh bagian pemerintahan, namun kekuasaan tertinggi tetap berada tangan khalifah. Kelak sepeninggal Khalifah Hakam II, Muhammad bin Abu Amir memainkan peran yang sangat penting selama 27 tahun. Ia seorang negarawan cakap dan ahli strategi perang.

Penunjukan itu bersamaan dengan adanya tantangan dari pihak utara, Kerajaan Navarre. Beberapa benteng dan perbatasan mulai diserang. Di tengah serangan-serangan itulah Khalifah Hakam II wafat dalam usia 62 tahun. Ia digantikan oleh putranya, Hisyam II yang kala itu masih berusia 10 tahun. Saudaranya, Mughirah bin Abdurrahman III menjabat sebagai Mursyih Al-Amri atau Pemangku Kuasa.


Redaktur: cr01
Sumber: Kisah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Kamis, 26 Mei 2011

Abdurrahman III sang penyelamat imperium

Sejarah Para Khalifah: Abdurrahman III, Sang Penyelamat Imperium
Kamis, 26 Mei 2011 10:20 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Abdurrahman III adalah orang yang paling cakap dan paling besar di antara para khalifah Bani Umayyah di Andalusia. Dia merupakan khalifah ke-8 yang menduduki tahta pada 912 M saat berusia 23 tahun. Ia memiliki kepribadian kuat, pertimbangan tepat, keteguhan hati, dan keberanian.

Ketika Abdurrahman naik tahta, Bani Umayyah berada dalam keadaan yang paling lemah. Namun ia meninggalkannya dalam keadaan paling kuat. Pemerintahannya membuka pertanda menggembirakan bagi jazirah itu karena menandai fajar kedamaian, kemakmuran dan kemegahan. Sehingga ia disebut sebagai Sang Penyelamat Imperium Muslim Andalusia.

Setelah naik tahta, ia dalam suatu pernyataan menuntut semua warganya untuk tundak tanpa syarat, tanpa memandang kelas. Dia berusaha membuang kebijakan pembangkang dan penjahat dalam pemerintahannya. Rencana besarnya, selain membasmi kekuatan-kekuatan penyeleweng dan pengacau, juga berupaya menciptakan keseimbangan politik, memulihkan perdamaian dan stabilitas dinasti yang tengah kacau.

Abdurrahman membuktikan dirinya sebagai seorang yang terhormat. Dia memiliki keteguhan hati dan keberanian yang menjadi ciri pemimpin di segala zaman. Kebijakan yang menunjukkan keberaniannya adalah memadamkan semua pemberontakan dan menegakkan kekuasaannya dari sungai Ebro sampai Atlantik dan dari kaki pegunungan Pyreneen sampai Gibraltar pada 913 M.

Dia memimpin sendiri tentaranya melawan para pemberontak di selatan. Keinginannya yang nyata untuk bersama-sama merasakan tak hanya kejayaan, tetapi juga keletihan dan bahaya, membangkitkan semangat tentaranya secara luar biasa. Sehingga ia berhasil merebut benteng Ecija, menundukkan Gubernur Sevilla serta menghancurkan musuh Bani Umayyah yang paling bandel, Ibnu Hafishan—sehingga bentengnya (Barbastro) berhasil diduduki. Begitu pula dengan pemberontak-pemberontak di sebelah barat, juga berhasil ditundukkan.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman III, ketertiban dan kemakmuran meliputi seluruh imperium. Organisasi polisinya juga sempurna sehingga orang-orang asing atau para pedagang dapat bepergian ke daerah-daerah yang paling sukar dicapai tanpa sedikit pun takut akan mendapatkan penganiayaan atau bahaya. Untuk menyampaikan laporan dengan cepat, kuda-kuda penyambung ditempatkan di berbagai pos.

Berbagai fasilitas umum dibiayai dengan uang negara. Rumah-rumah sakit dan rumah-rumah peristirahatan untuk orang miskin dibangun. Sekolah-sekolah, perguruan tinggi-pergururan tinggi, serta perpustakaan terdapat di mana-mana di seluruh negeri. Perdagangan dan industri, kesenian dan ilmu pengetahuan juga didorong dan dikembangkan.

Sepertiga dari pendapatan negara setiap tahun dibelanjakan untuk memajukan pendidikan dan kebudayaan. Para astronom seperti Ahmad bin Nasar, para filsuf seperti Ibnu Masarrah, dan para dokter seperti Said dan Yahya bin Isyak, muncul dan berkembang pada masa pemerintahan Abdurrahman III.

Banyak karya orang Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dekat Cordoba, ia juga membangun sebuah istana yang indah, Az-Zahra, yang dianggap sebagai suatu keajaiban kesenian Islam. Istana kerajaan ini memiliki 400 kamar yang konon dapat menampung ribuan budak dan pegawai. Istana Az-Zahra terbuat dari pualam putih yang didatangkan dari Nurmidia dan Carthago. Ia juga menerangi sebuah jalan Cordoba sepanjang 16 kilometer dengan cahaya yang begitu terang. Padahal, jalan-jalan yang bagus di Inggris dan Prancis pada saat itu masih langka.

Dengan seluruh pencapaiannya, dapatlah dikatakan bahwa masa pemerintahannya merupakan masa keemasan Andalusia (Spanyol). Dia mengangkat negeri yang berantakan itu ke tempat yang sukar dibayangkan sebelumnya.

Abdurrahman III wafat pada Oktober 961 M. Masa pemerintahannya berlangsung selama 49 tahun. Seperti dituturkan Imam As-Suyuthi, dialah yang pertama kali dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin, bertepatan dengan masa kemunduran Daulah Abbasiyah di Baghdad di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Muqtadir. Sebelumnya, khalifah Daulah Umayyah di Andalusia dipanggil dengan sebutan Amir.




Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

ABDULLAH BIN MUHAMMAD.lukisan keberanian dan kedermawanan

Sejarah Para Khalifah: Abdullah bin Muhammad, Lukisan Keberanian dan Kedermawanan
Rabu, 25 Mei 2011 18:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Abdullah bin Muhammad adalah Khalifah Ketujuh Daulah Umayyah di Andalusia. Ia menjadi khalifah menggantikan saudaranya, Mundzir bin Muhammad, yang wafat pada 275 H. Khalifah Abdullah memerintah selama 25 tahun. Namun masa-masa awal pemerintahannya diwarnai banyak kerusuhan.

Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’ mengatakan, Abdullah bin Muhammad adalah khalifah yang paling baik di Andalusia, baik dari sisi ilmu pengetahuan maupun sisi agama.

Wilayah Lusitania yang telah berhasil diamankan pada masa pemerintahan Mundzir bin Muhammad, bergejolak kembali di bawah pimpinan Muhammad bin Taqut, Gubernur Torre er Mosa, yang terletak di sebelah utara Badajoz. Ia berhasil merebut ibukota wilayah Lusitania, kota Merida.

Sementara itu, Ibnu Marwan Al-Ghaliki yang sebelumnya diporak-porandakan oleh pasukan Mundzir, kembali menyusun kekuatan. Ia berhasil merebut berbagai kota dan benteng di wilayah Lusitania.

Ghalib bin Umar yang telah menguasai wilayah bagian utara itu menjalin hubungan dengan Dinasti Aghlabiyah di Qairawan. Ia menyatakan tundak kepada Daulah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.

Ketika Dinasti Aghlabiyah ditaklukkan oleh Dinasti Fathimiyah, Ghalib bin Umar segera mendekati Dinasti Fathimiyah, dan menyatakan tunduk di bawah kekuasaan dinasti beraliran Syiah itu.

Lama-kelamaan, Ghalib bin Umar berhasil maju dan masuk ke wilayah Castile hingga Raja Alfonso III dan putranya, Don Garcia, terus terdesak. Di wilayah Zamora, pecahlah peperangan sengit. Ghalib bin Umar dan panglimanya, Abul Qasim, tewas.

Sementara itu, Khalifah Abdullah berhasil mengamankan wilayah barat dan selatan kekuasaannya. Ketika Raja Alfonso III hendak maju ke Toledo, Navarre dan Aragon. Khalifah Abdullah dan pasukannya maju ke arah utara.

Di lain pihak, terdapat ketidakpuasan Don Garcia pada ayahnya. Kemelut pun pecah dan berlangsung lama hingga Raja Alfonso III meletakkan jabatannya. Situasi ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Khalifah Abdullah untuk memulihkan wilayah itu.

Pada usia 42 tahun, Khalifah Abdullah meninggal dunia. Sepuluh tahun terakhir dari masa kekuasaannya digunakan untuk memulihkan pembangunan akibat kemelut yang terus terjadi. Kesempatan itu terbuka karena tak ada ancaman dari wilayah Asturia dan Leon. Wilayah itu tengah dilanda kemelut antar ayah dan anak.

Masa pemerintahannya yang berlangsung selama 25 tahun dicatat oleh sejarawan dengan kalimat sirah syaja’atin wa sikha’, riwayat hidup yang melukiskan keberanian dan kedermawanan.




Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Rabu, 25 Mei 2011

DZIKIR RASULULLAH

• DZIKIR dan DOA RASULLAH pada PETANG hari •.*♥✿♥*•
♥•.♥♥.•*´¨`*•.♥.♥.•*´¨`*•.*♥✿♥*.•*´'`*•.♥♥.•*´`*•♥•*´`*•.♥

1. A’udzubilahi minaSyaithonirRojim...
Bismillahirrohmaanirrohiim.

2. Ayat kursi.

Barangsiapa membaca ayat ini(ayat kursi) ketika pagi hari, maka ia dilindungi dari gangguan hingga sore hari dan barangsiapa mengucapkannya ketika sore hari, maka ia dilindungi dari gangguan jin hingga pagi hari
(Mustadrak AlHakim I/562,Shahih atTarghiib wat Tarhiib I/418 no.662, shahih)

3. Al ikhlas (3x), Al Falaq (3x), An naas (3x)

Barangsiapa membaca tiga surat(Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas) setiap pagi dan sore hari sebanyak tiga kali, maka tiga surat tersebut cukup baginya dari segala sesuatu, Yakni mencegahnya dari berbagai kejahatan
(HR. Abu Dawud no.5082, Tirmidzi no.3575, Ahmad V/312)

4. Astagfirullahi wa atubuila ilaihi (100x).

(HR. Bukhari/Fathul Baari XI/101, Muslim no.2702)

Dari Ibnu Umar.r.a Rasullah bersabda “Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Aku bertobat kepadaNYA dalam sehari seratus kali (HR.Muslim no.2075)

Nabi bersabda”Barangsiapa mengucapkan ’Astagfirullahi wa atubuila ilaihi’ maka Allah mengampuni dosanya meskipun ia lari dari medan perang” (HR.Abu Dawud no.1517, Tirmidzi no.3577)

5. Amsayna, wa amsal muluku lillahi walhamdulillahi, Lailaha ilawlah wahdahu la syarikalah lahul mulku walahul hamdu wahuwa a’la kulli syai’in kodir.
Robbi as’alukal khair mafi hadzal Lail, wa khair ma ba’dahu, wa A’udzubika min syari ma fi hadzal Lail, wa syari ma ba’dahu. Robbi A’udzubika minal Kasali wa su’il Kibar, wa A’udzubika min Adzabin fi Naar wa adzabi fil Kobr.

♥ Amsayna = waktu sore…

(HR. Muslim no.2723, Abu Dawud no. 5071, Tirmidzi no.3390)

6. Amsayna ‘ala fitratil Islam, wa’ ala kalimatil Ikhlas, wa’ ala diini nabiyina Muhammad, wa’ala milati abina Ibrahim, Hanifan musliman wa ma kana minal musyrikin (HR.Ahmad III/406, 407)

7. Allahuma bika Amsayna,, wa bika Asbahna, wa bika Nahya, wa bika Namut, wa ilaikan Nusyuur.
(HR,Bukhari dalam Aladab al Mufrad no. 1199)

♥ Sayyidul Istighfar.

8. Allahuma Anta robbi, la ilaha ila Anta Kholaqtani, wa ana abduka, wa ana a’la Ahdika, wawa’dika mastatho’tsu, A’udzubika min syarri ma shona’tu abu’u laka bi ni’matika A’laya, wa abu’u bi dzanbi, fagfirlii, fa inahu layaghf iru dzunuba ila Anta.

Barangsiapa membaca dengan yakin di waktu pagi, lalu ia meninggal sebelum masuk waktu sore, maka ia termasuk ahli syurga, Barangsiapa membaca dengan yakin di waktu sore, lalu ia meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk ahli syurga. (HR. Bukhari no.6306, 6323, AhmadIV/122-125)

9. Allahuma A’fini fi badani, Allahuma Afini fi sam’i, Allahuma Afini fi bashari Lailaha ila Anta., Allahuma ini A’udzubika minal Kufri wal Fakri, wa A’udzubika min adzabil Kobri Lailaha ila Anta (3x)
(HR,Bukhari dalam Al adab al Mufrad no. 701)

10. Allahuma ini as’aluka afwa wal a’fiah fi dunia wal akhirah, Allahuma ini as’aluka afwa wal a’fiah fi diin wa dunia wal ahli wa maali, Allahuma astur ‘aurati wa min ra’ati Allahuma ahfadhni min baini yadayya, wa min kholfi, wa ‘an yamini wa ‘an syimali wa min fauqi, wa Audzu bi’adzomatika an ‘ughtala min tahti.
(HR. Bukhari no.1200, Abu Dawud no.5074)

11. Allahuma ‘alimal ghoibi wa syahadah, Fathiras samawati wal ‘ard, Robbi kulli sya’in wa malikah, Ashadu ala ilaha ila Anta, Audzubika min syari Nafsih wa min syarri syaithon, wa syirkihi,wa an aqtarifa ‘ala nafsi suu’an aw ajurah ila muslim

NabiSAW bersabda kepada Abu Bakar AsShidiq “ Ucapkanlah pagi dan petang dan ketika engkau hendak tidur
(HR,Bukhari dalam Al-adab al Mufrad no. 1202)

12. Bismilahiladzi la ya dhuruhu ma’asmihi syai’un, fil ardhi wala fi sama wahuwa sami’ul ‘alim (3x)

Barangsiapa membaca sebanyak tiga kali ketika pagi dan sore hari, maka tidak ada sesuatupun yang membahayakan dirinya (HR.Tirmidzi no.3388)

13. Rodhitu billahi Robba, wabil Islami dina, wabi Muhamadin Nabiya (3x)

Barangsiapa membaca sebanyak tiga kali ketika pagi dan sore hari, maka Allah memberikan keridhoannNYA pada hariKiamat. (HR.Abu Dawud no.5070)

14.Yaa Hayyu yaa Qoyyum, bi rahmatika astaghitsu ashlihli sya’ni kullahu watakilni ila nafsih thorfata ‘ain. (HR. AnNasa’i no.575)

15. A’udzu bi kalimati Tammati min syarri ma khalaq (3x)
(HR.Ahmad II/290, AnNasa’no.596)

16. Lailaha ilawlah wahdahu la syarikalah lahul mulku walahul hamdu wahuwa a’la kulli syai’in kodir (100x)

Barangsiapa membacanya 100 X sehari, maka baginya (pahala) seperti memerdekakan sepuluh budak, ditulis seratus kebaikan, dihapus darinya seratus keburukan,…
(HR.Bukhari no.3293, Muslim no. 2691).

*>Ibnu Qayyum : Dzikir Petang dibaca diantara waktu Ashar sampai Tenggelamnya Matahari

♥<~~✿~~✿~♥~✿~♥~~✿~~>OT<~~✿~~♥~✿~♥~~✿~~✿~>♥

Anta fil wuzdaani hayyun Anta lil aynayni dayyun Anta indal hawdi riyyun Anta haadin wa safiyyun Ya Habiibi Ya Muhammad Ya Nabi Salaam Alayka Ya Rasul Salaam Alayka Ya Habiib Salaam Alayka Salawatullah Alayka

*Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Semoga bermanfaat n dapat mengamalkannya..Aamiin ya Robb.

Met petang..have a nice day
Wassalam.♥ Oki Tien

♥<~♥~✿~♥~~✿~~> SALAM UHIBUKA FILLAH<~~✿~~♥~✿~♥~>♥
♥.•*´¨`*•♥•*´¨`*•.♥.♥.•*´¨`*•.*♥✿♥*.•*´'`*•.♥♥.•*´`*•♥•*´`*•.♥
Tambahkan keterangan
•*♥✿♥*• DZIKIR dan DOA RASULLAH pada PETANG hari •.*♥✿♥*• ♥•.♥♥.•*´¨`*•.♥.♥.•*´¨`*•.*♥✿♥*.•*´'`*•.♥♥.•*´`*•♥•*´`*•.♥ 1. A’udzubilahi minaSyaithonirRojim... Bismillahirrohmaanirrohiim. 2. Ayat kursi. Barangsiapa membaca ayat ini(ayat kursi) ketika pagi hari, maka ia dilindungi dari gangguan hingga sore hari dan barangsiapa mengucapkannya ketika sore hari, maka ia dilindungi dari gangguan jin hingga pagi hari (Mustadrak AlHakim I/562,Shahih atTarghiib wat Tarhiib I/418 no.662, shahih) 3. Al ikhlas (3x), Al Falaq (3x), An naas (3x) Barangsiapa membaca tiga surat(Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas) setiap pagi dan sore hari sebanyak tiga kali, maka tiga surat tersebut cukup baginya dari segala sesuatu, Yakni mencegahnya dari berbagai kejahatan (HR. Abu Dawud no.5082, Tirmidzi no.3575, Ahmad V/312) 4. Astagfirullahi wa atubuila ilaihi (100x). (HR. Bukhari/Fathul Baari XI/101, Muslim no.2702) Dari Ibnu Umar.r.a Rasullah bersabda “Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Aku bertobat kepadaNYA dalam sehari seratus kali (HR.Muslim no.2075) Nabi bersabda”Barangsiapa mengucapkan ’Astagfirullahi wa atubuila ilaihi’ maka Allah mengampuni dosanya meskipun ia lari dari medan perang” (HR.Abu Dawud no.1517, Tirmidzi no.3577) 5. Amsayna, wa amsal muluku lillahi walhamdulillahi, Lailaha ilawlah wahdahu la syarikalah lahul mulku walahul hamdu wahuwa a’la kulli syai’in kodir. Robbi as’alukal khair mafi hadzal Lail, wa khair ma ba’dahu, wa A’udzubika min syari ma fi hadzal Lail, wa syari ma ba’dahu. Robbi A’udzubika minal Kasali wa su’il Kibar, wa A’udzubika min Adzabin fi Naar wa adzabi fil Kobr. ♥ Amsayna = waktu sore… (HR. Muslim no.2723, Abu Dawud no. 5071, Tirmidzi no.3390) 6. Amsayna ‘ala fitratil Islam, wa’ ala kalimatil Ikhlas, wa’ ala diini nabiyina Muhammad, wa’ala milati abina Ibrahim, Hanifan musliman wa ma kana minal musyrikin (HR.Ahmad III/406, 407) 7. Allahuma bika Amsayna,, wa bika Asbahna, wa bika Nahya, wa bika Namut, wa ilaikan Nusyuur. (HR,Bukhari dalam Aladab al Mufrad no. 1199) ♥ Sayyidul Istighfar. 8. Allahuma Anta robbi, la ilaha ila Anta Kholaqtani, wa ana abduka, wa ana a’la Ahdika, wawa’dika mastatho’tsu, A’udzubika min syarri ma shona’tu abu’u laka bi ni’matika A’laya, wa abu’u bi dzanbi, fagfirlii, fa inahu layaghf iru dzunuba ila Anta. Barangsiapa membaca dengan yakin di waktu pagi, lalu ia meninggal sebelum masuk waktu sore, maka ia termasuk ahli syurga, Barangsiapa membaca dengan yakin di waktu sore, lalu ia meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk ahli syurga. (HR. Bukhari no.6306, 6323, AhmadIV/122-125) 9. Allahuma A’fini fi badani, Allahuma Afini fi sam’i, Allahuma Afini fi bashari Lailaha ila Anta., Allahuma ini A’udzubika minal Kufri wal Fakri, wa A’udzubika min adzabil Kobri Lailaha ila Anta (3x) (HR,Bukhari dalam Al adab al Mufrad no. 701) 10. Allahuma ini as’aluka afwa wal a’fiah fi dunia wal akhirah, Allahuma ini as’aluka afwa wal a’fiah fi diin wa dunia wal ahli wa maali, Allahuma astur ‘aurati wa min ra’ati Allahuma ahfadhni min baini yadayya, wa min kholfi, wa ‘an yamini wa ‘an syimali wa min fauqi, wa Audzu bi’adzomatika an ‘ughtala min tahti. (HR. Bukhari no.1200, Abu Dawud no.5074) 11. Allahuma ‘alimal ghoibi wa syahadah, Fathiras samawati wal ‘ard, Robbi kulli sya’in wa malikah, Ashadu ala ilaha ila Anta, Audzubika min syari Nafsih wa min syarri syaithon, wa syirkihi,wa an aqtarifa ‘ala nafsi suu’an aw ajurah ila muslim NabiSAW bersabda kepada Abu Bakar AsShidiq “ Ucapkanlah pagi dan petang dan ketika engkau hendak tidur (HR,Bukhari dalam Al-adab al Mufrad no. 1202) 12. Bismilahiladzi la ya dhuruhu ma’asmihi syai’un, fil ardhi wala fi sama wahuwa sami’ul ‘alim (3x) Barangsiapa membaca sebanyak tiga kali ketika pagi dan sore hari, maka tidak ada sesuatupun yang membahayakan dirinya (HR.Tirmidzi no.3388) 13. Rodhitu billahi Robba, wabil Islami dina, wabi Muhamadin Nabiya (3x) Barangsiapa membaca sebanyak tiga kali ketika pagi dan sore hari, maka Allah memberikan keridhoannNYA pada hariKiamat. (HR.Abu Dawud no.5070) 14.Yaa Hayyu yaa Qoyyum, bi rahmatika astaghitsu ashlihli sya’ni kullahu watakilni ila nafsih thorfata ‘ain. (HR. AnNasa’i no.575) 15. A’udzu bi kalimati Tammati min syarri ma khalaq (3x) (HR.Ahmad II/290, AnNasa’no.596) 16. Lailaha ilawlah wahdahu la syarikalah lahul mulku walahul hamdu wahuwa a’la kulli syai’in kodir (100x) Barangsiapa membacanya 100 X sehari, maka baginya (pahala) seperti memerdekakan sepuluh budak, ditulis seratus kebaikan, dihapus darinya seratus keburukan,… (HR.Bukhari no.3293, Muslim no. 2691). *>Ibnu Qayyum : Dzikir Petang dibaca diantara waktu Ashar sampai Tenggelamnya Matahari ♥<~~✿~~✿~♥~✿~♥~~✿~~>OT<~~✿~~♥~✿~♥~~✿~~✿~>♥ Anta fil wuzdaani hayyun Anta lil aynayni dayyun Anta indal hawdi riyyun Anta haadin wa safiyyun Ya Habiibi Ya Muhammad Ya Nabi Salaam Alayka Ya Rasul Salaam Alayka Ya Habiib Salaam Alayka Salawatullah Alayka *Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. Semoga bermanfaat n dapat mengamalkannya..Aamiin ya Robb. Met petang..have a nice day Wassalam.♥ Oki Tien ♥<~♥~✿~♥~~✿~~> SALAM UHIBUKA FILLAH<~~✿~~♥~✿~♥~>♥ ♥.•*´¨`*•♥•*´¨`*•.♥.♥.•*´¨`*•.*♥✿♥*.•*´'`*•.♥♥.•*´`*•♥•*´`*•.♥
Dalam foto ini: Parwoko SatrioMataram (foto), Muhamad Arif (foto), Ikeu Widhiani (foto), Sani Jasmin (foto), Bya Nabila Aulia (foto), Moch Noer Fatikhah (foto), Ukhti La Tahzan, Dedeh Kurnia, Annisa Salsabila, Endel Lia, Henny Hanurian, Ericho Maulana Ikhsan, Yuliana Hasan, Nok Unyil'e Mamah, Abie Mtalfatih (foto), Umi Salamah (foto), Nok Ia, Putra Angkasa (foto), Bunda Ambar (foto), Abie Raudhah Said (foto), Aathif Al Ghuroba II (foto), Gusti Farhan Putra (foto), Abi Imbong, Kasman Alfaridzi II (foto), Isj Ratna (foto), Kang Sukma (foto · hapus tanda), Laksemana Bintan, Ahmad Zidane (foto), Nana Ratna Isnasari, Sugianto Parjan Full (foto), Mansur Hidayat (foto), Andrew Black (foto), Revalina Sri Utami, Arumi Dewi (foto), Mano Mahesa, Tetesan embun penyejuk kalbu ( Renungan dakwah islam ), Das Mbanyumas (foto), Ade 'Gono' Kuspardi (foto), Andre Arifani, Asep Suhendar (foto), Thinker Bell (foto), Ella Istiqomah (foto), Zahrah Ceria (foto), Aryans Poejakesuma (foto), Juan Pablo Carlos (foto), 'Ari Prasetyo, Ahdi Ahmad Afandi (foto), Anna Dilla Fadillah, Annisa Sholehah PemburuRidho'illahi (foto), Yolandari Pramita, Ingin Ibadah (foto)
Ditambahkan 4 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·

Selasa, 24 Mei 2011

Mundzir bin Muhammad..Pahlawan Basbastro

Sejarah Para Khalifah: Mundzir bin Muhammad, Pahlawan Basbastro
Rabu, 25 Mei 2011 10:09 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Kemampuan ayah, tak selamanya menurun pada sang anak. Jika Muhammad I—Khalifah Kelima Daulah Umayyah di Andalusia—mampu mempertahankan kekuasaan hingga 34 tahun lamanya, membangun negeri dan memperluas wilayahnya, maka tidak demikian dengan putranya, Mundzir. Sang anak yang naik tahta menggantikan ayahnya ini hanya mampu mengendalikan pemerintahannya tak sampai dua tahun.

Hal ini bukan karena kemampuannya sendiri, tetapi keadaan yang memang kacau sepeninggal ayahnya. Ia diangkat pada 273 H. Masa pemerintahannya bersamaan dengan Raja Alfonso III dari kerajaan Austria-Leon dan Khalifah Al-Mu’tamid dari Daulah Abbasiyah di Baghdad.

Ketika Khalifah Muhamad meninggal, pemimpin beberapa wilayah berniat melepaskan diri. Di antaranya Ghalib bin Umar. Dia adalah putar Umar bin Hafishan. Ia berasal dari wilayah Maraga, bagian selatan Spanyol. Umar bin Hafishan pernah mengumumkan diri sebagai penguasa wilayah Aragon.

Pada sebuah pertempuran, ia tewas memprtahankan benteng dan kota Saragossa. Putranya, Ghalib bin Umar, terpaksa mengundurkan diri dan bersembunyi di daerah pegunungan Pyreneen.

Dalam bentangan sejarah, Ghalib bin Umar dikenal sebgai tokoh perkasa yang disegani lawan. Ia juga cukup disegani, oleh Raja Alfonso III maupun penguasa di Cordoba.

Begitu mendengar kemangkatan Khalifah Muhammad I, Ghalib langsung kelaur dari persembunyiannya. Dalam waktu singkat, ia mendapatkan dukungan dari beragam kalangan. Bersama pasukannya, ia berhasil menaklukkan beberapa wilayah seperti kota dan benteng Uesca, Tudela, dan Lerida. Bahkan Ghalib berhasil merebut benteng Saragossa yang terkenal itu.

Dalam waktu singkat ia mampu membentangkan kekuasaannya hingga pinggiran sungai Ebro. Setelah berhasil wilayah Aragon, Ghalib mengarahkan matanya ke wilayah Toledo dan Castile.

Sementara itu, Khalifah Mundzir tak bisa berbuat banyak menghadapi serangan di wilayah Aragon itu. Sebab saat itu ia sedang memadamkan kerusuhan di wilayah Lusitania.

Pada 275 H, barulah Khalifah Mundzir berangkat dengan pasukannya untuk menghadang serangan Ghalib sekaligus merebut kembali kota-kota yang sudah dikuasai. Akhirnya, Saragossa berhasil direbut kembali. Begitu pun kota dan benteng Lerida.

Dalam gerakannya untuk merebut Uesca, pasukan musuh bertahan di sebuah tempat yang dikenal dalam sejarah. Tempat itu bernama Barbastro, terletak antara Lerida dan Uesca. Pasukan Khalifah Mundzir dijebak di lembah tersebut dan menghadapi serangan mendadak.

Pertempuran besar pun pecah. Dalam sejarah, peristiwa itu dikenal dengan Perang Barbastro. Pasukan Khalifah Mundzir tak kuasa membendung serangan lawan, dan kocar-kacir. Ia sendiri terpaksa mengakhiri riwayat kepemimpinannya sekaligus hidupnya. Ia gugur dalam perang ini.

Sementara itu, pasukan Ghalib berhasil menaklukkan wilayah Aragon. Selanjutnya, dengan mudah ia bisa memasuki wilayah Toledo. Benteng dan kota itu jatuh ke tangannya. Kini, satu wilayah besar berada di depannya, Castile!






Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Tasawuf

Syari'ah, Thariqah, Haqiqah dan Ma'rifah

Jumat, 20 Mei 2011 21:14 WIB

oleh KH Ali Yafie *



Kata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim. Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai antara lain pada Surah Al-Jatsiyah: 18. Pemakaian kata tersebut mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itu sendiri. Dalam perkembangan Islam munculnya tiga kata thariqah, haqiqah dan ma'rifah, telah mengakibatkan terbatasnya pengertian syari'ah sehingga lebih banyak mengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnya menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf. Karena itu ada baiknya kita lebih dahulu berbicara tentang tasawuf itu sendiri.



Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah kelompok spiritual dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok lainnya yang disebut kelompok formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi), sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu kecenderungan spiritual yang membentuk etika moral dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakan seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.



Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.



Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita seribu satu malam" di masa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu Tasawuf.



Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam menjabarkan prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga abad—dengan munculnya disiplin ilmu Tasawuf—terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah.



Pada tahap perkembangannya, secara berangsur-angsur pola pikir dan pola hubungan antara ahli syari'ah dan ahli haqiqah makin berbeda. Dan ini menimbulkan banyak pertentangan antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:



1. Ahli syari'ah menonjolkan—kadang-kadang secara berlebih-lebihan—soal pengalaman agama dalam bentuk yang formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak, para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran Islam.



2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan teori Hub Allah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah Al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal dan situasi-situasi) ciptaan Dzunnun Al-Mishri. Semua itu dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.



3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata, kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.



4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).



Jurang pemisah yang makin hari makin melebar antara ahli syari'ah dan ahli haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar akhir abad kelima Hijriyah, dan Imam Ghazali berupaya memulihkannya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengan karya besarnya Ihya 'Ulum Al-Din. Dalam buku ini beliau mempertemukan teori-teori syari'ah dengan teori-teori haqiqah. Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu dalam merukunkan kembali antara para ahli syari'ah dengan ahli haqiqah.



Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan non-formal yang namanya "tarekat" asal kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Tarekat Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahl al-Thariqah al-Mu'tabarah. Pada tahun lima puluhan, pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan koordinasi tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen Bimbingan Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhak mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.



Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita mempertanyakan kapankah munculnya tarekat (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan tasawuf Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa. Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i. Dan tempat ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.



Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya.



Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatan perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya membebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai Mu'ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.



Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa sistem hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat yang berbeda-beda itu. Semua pengikutnya dididik dalam disiplin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut walaupun beragam namanya dan metodenya, tapi ada beberapa ciri yang menyamakan:



1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu menjalani masa persiapan yang berat.



2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)



3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa hari (kadang-kadang sampai 40 hari).



4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat membina konsentrasi ingatan.



5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang berlaku di luar kebiasaan.



6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau pembantunya yang tidak bisa dibantah.



Dari sistem dan metode tersebut Nicholson menyimpulkan, bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan solidaritas sosial. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja, tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah yang diridlai Allah, dengan jalan pengamalan syari'ah dan penghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah untuk mencapai ma'rifah.



Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah dalam terma mereka ialah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalam wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tawhid, yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu selain Allah.



* Mantan Ketua MUI

Senin, 23 Mei 2011

Muhammad I,Tabah dan Berani

Sejarah Para Khalifah: Muhammad I, Tabah dan Berani
Selasa, 24 Mei 2011 07:31 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Muhammad bin Abdurrahman merupakan khalifah kelima Daulah Umayyah di Cordoba. Ia diangkat menggantikan ayahnya, Abdurrahman II pada usia 31 tahun. Dibanding para khalifah lain, masa jabatan Muhammad I terbilang lama. Ia memerintah selama 34 tahun.

Masa pemerintahannya sezaman dengan lima khalifah Abbasiyah di Baghdad, yaitu dari masa pemerintahan Al-Mutawakkil hingga Al-Mu’tamid. Hanya saja kalau di Baghdad sedang terjadi kemelut, maka di Cordoba sebaliknya. Di bawah pemerintahan Muhammad bin Abdurrahman, masyarakat hidup cukup tenang. Pemerintahan pun tampak stabil.

Meski demikian, bukan berarti era pemerintahan Khalifah Kelima Bani Umayyah ini bebas dari gejolak. Terutama yang muncul dari pihak luar. Sebagian ahli sejarah menganalisa, beragam gejolak ini muncul lantaran maraknya pernikahan ‘campuran’ Arab dan putri Barbar yang sering diposisikan sebagai budak. Perkawinan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat bawah, tapi juga para pejabat dan pembesar pemerintah.

Selain itu, kemakmuran yang dirintis oleh Abdurrahman Ad-Dakhil ketika masuk ke Andalusia, melahirkan semangat baru berbagai pihak untuk menguasai daerah yang sudah dibebaskan umat Islam.

Musa bin Zayyad yang menjabat Gubernur Saragossa, ibukota Aragon, setelah berunding secara rahasia dengan penguasa Septemania pada 239 H, mengumumkan membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Cordoba. Terjadilah kemelut di wilayah itu.

Raja Ordono I dari kerajaan Asturia-Leon selalu berharap dapat menguasai daerah Navarre dan Castile yang sebelumnya berhasil direbut oleh Abdurrahman II pada masa pemerintahan Raja Alfonso II. Sedangkan Raja Ramiro I tak berhasil merebutnya kembali dari tangan kaum Muslimin.

Setelah berunding berkali-kali, akhirnya Gubernur Toledo menyatakan bebas dari kekuasaan pusat dan bekerjasama dengan Raja Ordono I. Karenanya ketika Musa bin Zayyad maju ke Navarre, ia segera berhadapan dnegan pasukan Raja Ordono I. Pecah peperangan yang dikenal dengan Perang Clavijo. Pasukan Musa porak-poranda dan mundur kembali ke Aragon.

Kemenangan itu membangkitkan semangat Raja Ordono I untuk merebut wilayah Castile. Peperangan itu sekaligus memutuskan hubungan Cordoba dengan Castile. Raja Ordono I maju dengan pasukannya ke Castile dan berhasil menguasai daerah itu.

Mendengar berita itu, Khalifah Muhammad I segera mengirimkan pasukan. Ia sendiri memimpin pasukannya ke Toledo. Ini tentu saja sangat berbahaya, sebab jika Muhammad I tertawan atau terbunuh, maka berakhirlah riwayat kekuasaan Bani Umayyah di Andalusia.

Namun Muhammad I bukan baru pertama kali terjun langsung ke medan perang. Dengan taktik jitunya, ia berhasil menguasai Toledo.

Khalifah Muhammad I wafat sebelum sempat merebut wilayah Castile kembali. Ia meninggal pada usia 65 tahun pada 886 M. Ketabahan dan keberaniannya menyebabkan para ahli sejarah menyamakannya dengan Khalifah Walid bin Abdul Malik di Damaskus.

Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Minggu, 22 Mei 2011

Abdurrahman II, pemimpin yang dicintai

Kisah Para Khalifah: Abdurrahman II, Pemimpin yang Dicintai
Senin, 23 Mei 2011 07:17 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Pada usia 31 tahun ia dinobatkan sebagai penguasa tertinggi Andalusia menggantikan ayahnya, Hakam I bin Hisyam. Ia adalah khalifah keempat Dinasti Umayyah di Andalusia. Kenaikannya di tahta kerajaan diharapkan bisa melahirkan kembali harapan rakyat. Banyak yang tidak menyukai kepemimpinan ayahnya yang keras dan bertangan besi. Sebaliknya sejak muda Abdurrahman II sudah dicintai rakyat, baik lantaran sikapnya sehari-hari maupun kebijakan yang dia jalankan ketika mendapat tugas dari sang ayah. Pemerintahannya ditandai dengan dua hal. Pertama, peperangan ke luar daerah dan pengamanan dalam negara. Kedua, pembangunan besar-besaran dan pengembangan ilmu pengetahuan. Masa pemerintahannnya di Cordoba, bersamaan dengan masa kekuasaan Khalifah Al-Makmun di Baghdad. Pada masa itu, kekuasaan Daulah Abbasiyah juga mencapai puncaknya. Pada masa-masa berikutnya, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Kecintaan rakyat tak hanya dari mereka yang beragama Islam. Ketika wafat, dia ditangisi oleh rakyat dari segala lapisan masyarakat. Bahkan orang-orang Yahudi dan Nasrani pun turut berduka cita atas kematiannya. Ketika ayahnya, Hakam I bin Hisyam masih, Abdurrahman II sering ditugaskan dalam sejumlah peperangan. Pada usia 18 tahun, ia sudah mengepalai pasukan untuk menghadapi kekuatan Raja Alfonso II yang ingin merebut pelabuhan Oporto dan Lisboa. Berbeda dengan ayahnya, ketika berhasil menaklukkan sebuah daerah, Abdurrahman II memperlakukan penduduknya dengan baik. Inilah yang menyebabkan masyarakat menyukai kepemimpinannya. Namun demikian, bukan berarti masa kepemimpinannya bebas dari kemelut. Hal itu disebabkan oleh beberapa kebijakan ayahnya yang tidak disenangi rakyat. Sejak pembunuhan massal yang dilakukan Khalifah Hakam I bin Hisyam, penduduk kota Toledo belum bisa memadamkan dendamnya. Karena itu, ketika melihat celah kelemahan Abdurrahman II, penduduk kota itu mulai menggerakkan pemberontakan. Aksi ini dipimpin oleh Hasyim Adh-Dharab. Menghadapi gejala itu, Khalifah Abdurrahman II segera mengirimkan pasukan untuk mengepung kota Toledo. Ia menggunakan taktik pengepungan jangka lama. Karena pengepungan ini benar-benar telah telah disiapkan sebelumnya, maka Abdurrahman II berhasil mengatasi kemelut di kota ini. Penduduk kota Toledo berhasil ditundukkan. Khalifah Abdurrahman II tergolong pemimpin yang berpandangan ke depan. Karenanya ia tidak menyerang wilayah Aragon dan Catalonia lantaran daerah tersebut sedang dalam konflik. Panglima Musa bin Musa dari Toledo akhirnya berhasil menaklukkan wilayah itu, bahkan membunuh Raja Alfonso II. Selanjutnya terjadi perselisihan antara Panglima Musa dan Khalifah Abdurrahman II. Khalifah mengutus Pangliman Al-Harits bin Yaziga untuk menghadapi Panglima Musa. Namun berkat bantuan Raja Ramiro I, Panglima Harits berhasil ditawan. Mendengar panglimanya diperlakukan seperti itu, Khalifah Abdurrahman II segera mengirim pasukan. Kali ini dipimpin langsung oleh putranya, Muhammad. Kota Toledo tak bisa bertahan. Penduduknya menyerah. Panglima Musa bukannya dipecat, tetapi dikukuhkan kembali sebagai gubernur wilayah itu. Selain melakukan penyebaran Islam ke luar, Abdurrahman II juga mengembangkan pembangunan dalam negeri. Ia membuat saluran irigasi, mengembangkan seni budaya dan memperbaiki sarana transportasi dan jalan. Khalifah Abdurrahman II pada usia 62 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 31 tahun.
Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Hakam I bin Hisyam,Peletak sendi Pemerintahan

Kisah Para Khalifah: Hakam I bin Hisyam, Peletak Sendi Pemerintahan
Minggu, 22 Mei 2011 10:47 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Hakam bin Hisyam diangkat menjadi khalifah pada usia 23 tahun, menggantikan ayahnya, Hisyam bin Abdurrahman. Ia merupakan khalifah ketiga dalam sejarah Daulah Umayyah di Andalusia. Ia memerintah selama 27 tahun.

Ketika berita wafatnya Hisyam bin Abdurrahman dan pengangkatan Hakam bin Hisyam sampai ke telinga Gubernur Sulaiman dan Abdullah di Afrika Barat, keduanya segera bergerak menuju Andalusia.

Gubernur Abdullah berangkat lebih dahulu menuju Valencia melalui lautan. Di tempat itu ia disambut oleh penduduk kota dengan baik. Kemudian Gubernur Sulaiman segera menyusul menuju kota itu dan menjadikan Valencia sebagai markas. Penduduk kota Valencia dan sekitarnya menyatakan tunduk.

Mendengar berita ini, Khalifah Hakam I segera berangkat ke Valencia dengan pasukan besar. Perang saudara pun kembali pecah. Gubernur Sulaiman berhasil ditawan dan dijatuhi hukuman mati. Sedangkan Gubernur Abdullah meminta maaf dan diizinkan menetap di Valencia.

Pada tahun berikutnya, 797 Masehi, meletus pemberontakan di Toledo. Gerakan ini dilakukan oleh orang-orang Kristen yang dibantu kaum Yahudi. Khalifah Hakam segera mengirimkan pasukan besar dipimpin oleh Amrus bin Yusuf.

Kota benteng yang terkenal tangguh itu tak mampu bertahan menghadapi serangan pasukan Muslim. Prajurit yang ikut dalam penyerangan itu benar-benar terlatih. Setelah berhasil menjebol tembok benteng, mereka masuk bagai air bah. Kota Toledo berhasil dikuasai.

Kemampuan pasukan Hakam cukup menggentarkan nyali Raja Alfonso II yang belum lama memindahkan ibukota kerajaannya ke Leon. Ia pun segera meminta bantuan Raja Prancis Charlemagne di Achen yang masih menyimpan dendam atas serangan Khalifah Abdurrahman Ad-Dakhil. Karena itu, begitu ada tawaran dari Alfonso II, Charlemagne menyambut baik.

Beberapa tahun kemudian terjadi tragedi memilukan di Cordoba. Peristiwa ini bermula dari ketidakpuasan ulama terhadap Khalifah Hakam. Mereka menyusun kesepakatan untuk mencabut baiat dan mengangkat Muhammad bin Qasim yang masih keturunan Quraisy. Namun rencana itu berhasil diketahui khalifah, sekitar 72 tokoh disalib.

Panglima Amrus bin Yusuf kembali mendapat perintah untuk merebut Toledo. Setelah melakukan pengepungan cukup lama, akhirnya Toledo kembali berhasil dikuasai setelah sebelumnya dikuasai Alfonso II. Pasukan Alfonso II yang mempertahankan Toledo dibinasakan.

Khalifah Hakam masih menyimpan dendam pada pemuka penduduk Toledo yang berkhianat sehingga Alfonso II kembali merebut kota itu. Ia pun merencanakan tipu muslihat. Panglima Amrus yang telah diangkat sebagai gubernur berpura-pura menentang pemerintahan Hakam. Ia pun mulai melakukan pembangunan sesuai kehendak masyarakat.

Setelah berhasil mengalahkan sisa-sisa pasukan Alfonso II, tentara Hakam bergerak ke Toledo dan memasang tenda tidak jauh dari kota itu. Penduduk Toledo kembali dilanda kekhawatiran.

Dengan alasan untuk menghindari pertumpahan darah, Gubernur Amrus mengadakan pesta untuk mengundang pasukan Hakam. Para tokoh Toledo setuju. Para undangan berdatangan. Saat itulah Amrus menjalankan siasat khalifahnya. Para tamu diwajibkan melewati jalan yang berkelok-kelok secara berkelompok. Saat itulah para tokoh itu dibunuh. Peristiwa ini terjadi pada 807 M, yang sekaligus menjadi noda hitam di masa pemerintahan Hakam.

Akhir masa pemerintahan Hakam lebih banyak diwarnai pertempuran. Khalifah Hakam meninggal pada 822 M dalam usia 50 tahun. Ia merupakan penguasa tunggal yang berhasil meletakkan sendi-sendi pemerintahan dengan cara keras.





Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Hisyam bin Abdurrahman,sengketa tiga saudara

Kisah Para Khalifah: Hisyam bin Abdurrahman, Sengketa Tiga Saudara
Jumat, 20 Mei 2011 16:17 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Menjelang wafatnya, Khalifah Abdurrahman Ad-Dakhil, menempatkan tiga putranya sebagai gubernur di kota besar terkenal saat itu. Putra tertuanya, Sulaiman, menjabat sebagai Gubernur Toledo. Putra keduanya, Hisyam, menjabat sebagai Gubernur Merida. Sedangkan putra bungsunya, Abdullah, menjabat sebagai sebagai Gubernur Valencia—sebuah kota pelabuhan yang cukup ramai.

Meskipun Hisyam lebih muda, namun dialah yang ditunjuk sebagai putra mahkota menggantikan ayahnya. Ketika sang ayah wafat, Gubernur Hisyam segera berangkat meninggalkan Merida menuju Cordoba.

Ia pun segera menerima baiat dari para pembesar ibukota dan dinobatkan sebagai khalifah kedua Daulah Umayyah di Andalusia. Dalam sejarah, ia dikenal dengan sebutan Hisyam I, yang memegang kekuasaan dalam usia 23 tahun.

Merasa dirinya putra tertua, Sulaiman tidak menerima sang adik dinobatkan sebagai khalifah. Ia merasa dirinya lebih berhak. Niatnya untuk memberontak semakin besar saat Gubernur Valencia Abdullah, memberikan dukungan. Abdullah datang ke Toledo dengan pasukan perang.

Mendengar aksi itu, Khalifah Hisyam segera menyiapkan pasukan dan berangkat menuju Toledo. Ia mengepung kota yang terkenal kokoh itu. Gubernur Sulaiman menggunakan kesempatan itu untuk berangkat ke Cordoba yang menurutnya kosong. Ia berharap petinggi ibukota segera membaiatnya.

Sulaiman menyerahkan pimpinan kota pada adik dan putranya. Ia sendiri berhasil keluar dari kepungan pasukan Khalifah Hisyam dengan diam-diam. Bersama pasukan kecil ia berangkat ke Cordoba.

Namun sayang, keinginannya untuk memasuki Cordoba gagal. Penduduk kota itu masih setia pada Khalifah Hisyam. Gubernur Sulaiman terpaksa kembali ke Toledo.

Pengepungan berlangsung selama dua bulan. Karena tak membawa hasil, akhirnya Khalifah Hsiyam memerintahkan pasukannya untuk kembali ke Cordoba. Namun demikian, ia sudah berhasil menunjukkan kekuatannya pada saudara tuanya, Sulaiman.

Sementara itu, Gubernur Abdullah pun kembali ke Valencia. Ia berpikir ulang untuk memusuhi saudaranya itu. Akhirnya ia memutuskan untuk berdamai. Bersama pasukannya ia berangkat ke Cordoba. Niat baiknya diterima oleh Khalifah Hisyam.

Namun Gubernur Sulaiman tetap bersikeras tak mau berdamai. Karena itu, Khalifah Hisyam segera mengerahkan pasukan di bawah pimpinan putranya, Muawiyah. Pertempuran pun pecah. Gubernur Sulaiman terdesak. Ia pun melarikan diri ke Valencia dan menyusun kekuatan bersama suku Barbar.

Lambat laun, Sulaiman merasa tidak sanggup menghadapi saudaranya itu. Berlangsunglah perdamaian. Sulaiman bersedia keluar dari Andalusia menuju Afrika Barat dan menetap di sana bersama suku Barbar. Dari Khalifah Hisyam ia menerima 60.000 dinar sebagai bagian dari hak warisnya. Ia pun menetap di daerah Maroko bersama pendukungnya.

Pada 788 M, di kota Saragossa dan Uesca di wilayah Aragon, muncul pemberontakan. Aksi ini bermula dari kota Barcelona yang digerakkan oleh Matruh bin Sulaiman.

Setelah berhasil mengatasi konflik dengan dua saudaranya, Khalifah Hisyam segera mengutus Panglima Ubaidillah bin Utsman untuk mengepung Saragossa. Matruh bin Utsman berhasil ditangkap dan dibunuh.

Selain berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan itu, Khalifah Hisyam juga mampu menciptakan keamanan dan ketertiban. Kebijakannya yang baik membuat para sejarawan sering menyandingkannya dengan nama Umar bin Abdul Azis.

Khalifah Hisyam juga menyelesaikan pembangunan Masjid Agung Cordoba yang dirintis ayahnya. Jasanya yang terbilang adalah pesatnya perkembangan ilmu dan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi.

Khalifah Hisyam wafat pada usia 31 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 7 tahun 7 bulan. Kendati demikian, namanya tetap harum dan menjadi buah bibir penduduk Andalusia.




Redaktur: cr01
Sumber: Kisah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Hisyam bin Abdurrahman,sengketa tiga saudara

Kisah Para Khalifah: Hisyam bin Abdurrahman, Sengketa Tiga Saudara
Jumat, 20 Mei 2011 16:17 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Menjelang wafatnya, Khalifah Abdurrahman Ad-Dakhil, menempatkan tiga putranya sebagai gubernur di kota besar terkenal saat itu. Putra tertuanya, Sulaiman, menjabat sebagai Gubernur Toledo. Putra keduanya, Hisyam, menjabat sebagai Gubernur Merida. Sedangkan putra bungsunya, Abdullah, menjabat sebagai Gubernur Valencia—sebuah kota pelabuhan yang cukup ramai.

Meskipun Hisyam lebih muda, namun dialah yang ditunjuk sebagai putra mahkota menggantikan ayahnya. Ketika sang ayah wafat, Gubernur Hisyam segera berangkat meninggalkan Merida menuju Cordoba.

Ia pun segera menerima baiat dari para pembesar ibukota dan dinobatkan sebagai khalifah kedua Daulah Umayyah di Andalusia. Dalam sejarah, ia dikenal dengan sebutan Hisyam I, yang memegang kekuasaan dalam usia 23 tahun.

Merasa dirinya putra tertua, Sulaiman tidak menerima sang adik dinobatkan sebagai khalifah. Ia merasa dirinya lebih berhak. Niatnya untuk memberontak semakin besar saat Gubernur Valencia Abdullah, memberikan dukungan. Abdullah datang ke Toledo dengan pasukan perang.

Mendengar aksi itu, Khalifah Hisyam segera menyiapkan pasukan dan berangkat menuju Toledo. Ia mengepung kota yang terkenal kokoh itu. Gubernur Sulaiman menggunakan kesempatan itu untuk berangkat ke Cordoba yang menurutnya kosong. Ia berharap petinggi ibukota segera membaiatnya.

Sulaiman menyerahkan pimpinan kota pada adik dan putranya. Ia sendiri berhasil keluar dari kepungan pasukan Khalifah Hisyam dengan diam-diam. Bersama pasukan kecil ia berangkat ke Cordoba.

Namun sayang, keinginannya untuk memasuki Cordoba gagal. Penduduk kota itu masih setia pada Khalifah Hisyam. Gubernur Sulaiman terpaksa kembali ke Toledo.

Pengepungan berlangsung selama dua bulan. Karena tak membawa hasil, akhirnya Khalifah Hsiyam memerintahkan pasukannya untuk kembali ke Cordoba. Namun demikian, ia sudah berhasil menunjukkan kekuatannya pada saudara tuanya, Sulaiman.

Sementara itu, Gubernur Abdullah pun kembali ke Valencia. Ia berpikir ulang untuk memusuhi saudaranya itu. Akhirnya ia memutuskan untuk berdamai. Bersama pasukannya ia berangkat ke Cordoba. Niat baiknya diterima oleh Khalifah Hisyam.

Namun Gubernur Sulaiman tetap bersikeras tak mau berdamai. Karena itu, Khalifah Hisyam segera mengerahkan pasukan di bawah pimpinan putranya, Muawiyah. Pertempuran pun pecah. Gubernur Sulaiman terdesak. Ia pun melarikan diri ke Valencia dan menyusun kekuatan bersama suku Barbar.

Lambat laun, Sulaiman merasa tidak sanggup menghadapi saudaranya itu. Berlangsunglah perdamaian. Sulaiman bersedia keluar dari Andalusia menuju Afrika Barat dan menetap di sana bersama suku Barbar. Dari Khalifah Hisyam ia menerima 60.000 dinar sebagai bagian dari hak warisnya. Ia pun menetap di daerah Maroko bersama pendukungnya.

Pada 788 M, di kota Saragossa dan Uesca di wilayah Aragon, muncul pemberontakan. Aksi ini bermula dari kota Barcelona yang digerakkan oleh Matruh bin Sulaiman.

Setelah berhasil mengatasi konflik dengan dua saudaranya, Khalifah Hisyam segera mengutus Panglima Ubaidillah bin Utsman untuk mengepung Saragossa. Matruh bin Utsman berhasil ditangkap dan dibunuh.

Selain berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan itu, Khalifah Hisyam juga mampu menciptakan keamanan dan ketertiban. Kebijakannya yang baik membuat para sejarawan sering menyandingkannya dengan nama Umar bin Abdul Azis.

Khalifah Hisyam juga menyelesaikan pembangunan Masjid Agung Cordoba yang dirintis ayahnya. Jasanya yang terbilang adalah pesatnya perkembangan ilmu dan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi.

Khalifah Hisyam wafat pada usia 31 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 7 tahun 7 bulan. Kendati demikian, namanya tetap harum dan menjadi buah bibir penduduk Andalusia.




Redaktur: cr01
Sumber: Kisah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Abdurrahman Ad-Dakhil...sang penaluk Andalusia

Sejarah Para Khalifah: Abdurrahman Ad-Dakhil, Sang Penakluk Andalusia
Kamis, 19 Mei 2011 07:18 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah menggulingkan Daulah Umayyah yang telah berkuasa selama 90 tahun, orang-orang Abbasiyah mengeluarkan perintah pada tahun 750 M untuk mengikis habis orang-orang yang ada kaitannya dengan Dinasti Umayyah. Mata-mata pun disebar ke seluruh pelosok negeri unuk mencari jejak mereka. Hanya segelintir orang yang selamat dari tebasan pedang tentara Abbasiyah. Di antaranya seorang pemuda berusia 19 tahun, yaitu Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik.

Ia lari dari Irak, mengarungi gurun Syria menuju Palestina. Kemudian menyeberangi gurun Sinai ke Mesir, lalu melewati beberapa wilayah Afrika menuju Andalusia (Spanyol) yang telah ditaklukkan oleh nenek moyangnya dari Dinasti Umayyah.

Abdurrahman memasuki Andalusia hanya diikuti oleh 400 budak yang setia pada Bani Umayyah. Ada yang mengatakan, ketika dia mendarat pada 755 M, pasukan tentara Syam menghadiahkan seorang budak perempuan yang sangat cantik. Ketika melihat dan memerhatikan kecantikannya, dia berkata, “Sesungguhnya hati dan mata ini telah sepakat. Jika aku meninggalkan perempuan ini, maka berarti aku telah menzaliminya. Namu jika aku sibuk dengan perempuan ini, maka aku menzalimi kepentinganku. Karena itu, aku tidak memerlukannya.” Kemudian dia mengembalikan perempuan itu kepada mereka.

Tatkala barisan tentaranya dirasakan sudah banyak pengikutnya, Abdurrahman mulai merangkak menyerang Cordoba. Dia berhasil menaklukkan kota itu dan menjadikannya sebagai ibukota kerajaan. Namun tak lama setelah itu Andalusia dilanda pergolakan terus-terus yang dipelopori oleh orang Yamaniyun (Arab Selatan) dan bangsa Barbar.

Pada saat yang sama, Khalifah Al-Manshur mengirimkan bala tentaranya yang terdiri dari para budak belian yang setia kepada Daulah Abbasiyah untuk mengembalikan Andalusia ke tangan mereka. Lagi-lagi, Abdurrahman mampu memadamkan berbagai pergolakan tersebut, serta memukul mundur tentara Al-Manshur.

Tatkala Harun Ar-Rasyid memegang kendali pemerintahan di Baghdad, Charlemagne (Raja Prancis), dengan leluasa memerangi musuhnya di Andalusia, karena Harun Ar-Rasyid sedang memerangi Byzantium, musuh Charlemagne. Raja Prancis itu menyeberangi gunung Brawns untuk menyerang Abdurrahman. Namun karena ada berita kekacauan yang melanda imperiumnya, dia terpaksa kembali lagi dan urung menyerang Andalusia.

Kekalahan Prancis membuat Abdurrahman Ad-Dakhil tenang. Tatkala memasuki Andalusia, ia menemukan bahwa tentaranya telah diatur sesuai dengan cara yang berlaku dalam kabilah Badui. Dia kemudian membangun angkatan bersenjata yang teratur yang jumlahnya tidak kurang dari empat puluh ribu personil. Dia sadar bahwa Andalusia sangat mungkin diserang dari tiga arah di lautan. Oleh sebab itu, dia kemudian membangun armada perang laut yang tergolong sebagai armada yang pertama kali di Andalusia. Armada inilah yang pada zaman Abdurrahman III menjadi armada perang laut terkuat di Barat dan Laut Tengah.

Pada zamannya pula, Andalusia mencapai pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, dan perkembangan peradaban yang sangat pesat. Tampaknya dia telah menyiapkan hal itu dalam masa yang cukup lama. Suatu kemajuan yang belum pernah dicapai oleh Andalusia sebelumnya. Cordoba bersaing dengan Konstantinopel dan Baghad dari segi kemegahan, kemewahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan seni. Cordoba dikenal sebagai Pengantin Andalusia dan Permata Dunia.

Tiga tahun sebelum meninggal dunia, Abdurrahman merenovasi dan memperluas bangunan Masjid Cordoba. Atapnya disangga oleh tiang-tiang besar yang berjumlah 1293 tiang. Dia laksana Ka’bah kaum Muslimin di dunia Islam bagian barat. Hingga kini masjid itu masih berdiri megah. Ia termasuk tempat yang paling banyak dikunjungi oleh para wisatawan setelah Istana Al-Hamra, sebagai peninggalan sejarah yang menarik.

Selain itu, Abdurrahman juga dikenal sebagai seorang penyair dan orator ulung. Meskipun sejarah menyebutkan bahwa dia adalah pemuda terusir, namun dengan ketegaran dan kemauan kerasnya ia berhasil mendirikan Daulah Umayyah II yang mampu bertahan hingga 1031 M. Dia mampu mengatasi serangan dari dua kekuatan besar di Timur dan Barat, Harun Ar-Rasyid dan Charlemagne.

Setelah memerintah selama 32 tahun, Abdurrahman Ad-Dakhil meninggal pada 172 H dalam usia 61 tahun. Dari seorang pelarian politik, ia menjadi penguasa yang disegani kawan dan lawan.





Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Share1

Rabu, 18 Mei 2011

Al-Mutawakkil Alallah II (1485-1507 M) khalifah terakhir

Sejarah Para Khalifah: Al-Mutawakkil Alallah II, Khalifah yang Terakhir
Rabu, 18 Mei 2011 17:30 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Al-Mutawakkil Alallah II, Abu Al-Izz bernama Abdul Azis bin Ya'kub bin Al-Mutawakkil Alallah. Dia lahir pada 819 H, ibunya bernama Haj Malik, putri seorang tentara. Ayahnya tidak pernah menjadi khalifah.

Al-Mutawakkil II tumbuh dan berkembang secara terhormat. Ia banyak dimintai pendapat dan sangat dicintai masyarakat dan para pembesar negara karena memiliki akhlak yang baik dan mulia. Dia dikenal sebagai khalifah yang rendah hati. Tingkah lakunya tenang dan menyejukkan. Wajahnya selalu ceria ketika berjumpa dengan siapa saja.

Selain itu, Al-Mutawakkil II juga dikenal sebagai sosok yang memiliki wawasan luas, banyak menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan. Dia dinikahkan oleh pamannya, Al-Mustakfi, dengan putrinya. Istrinya melahirkan anak yang saleh.

Tatkala Al-Mustanjid menderita sakit yang berlangsung lama, dia mewasiatkan kekhalifahan kepada Al-Mutawakkil II. Dan pada saat Al-Mustanjid meninggal dunia, Al-Mutawakkil II langsung diangkat sebagai khalifah (1485-1507 M) pada Senin 16 Muharram yang dihadiri oleh sultan, para hakim dan para pembesar.

Awalnya ia ingin menggunakan gelar Al-Musta'in atau Al-Mutawakkil, akhirnya dia memilih Al-Mutawakkil Alallah. Setelah itu dia kembali ke kediamannya dengan diiringi oleh para hakim dan pembesar. Hari itu adalah hari yang sangat bersejarah baginya. Namun pada akhir pemerintahannya, Al-Mutawakkil II kembali ke benteng tempat Al-Mustanjid dulu pernah tinggal.

Pada tahun ini, Sultan Al-Asyraf Qayatabay melakukan perjalanan ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji. Peristiwa ini merupakan peristiwa penting karena lebih dari seratus tahun para sultan tidak pernah melakukan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.

Khalifah Al-Mutawakkil Alallah II wafat pada Rabu akhir Muharram 903 H. Dia mewasiatkan kekhalifahan kepada anaknya, Ya'kub, yang bergelar Al-Mustamsik Billah.

Imam As-Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh Al-Khulafa', tidak meneruskan riwayat dua khalifah berikutnya, yakni Khalifah Al-Mustamsik Billah dan Al-Mutawakkil Alallah III. Ia menutup tulisannya dengan Khalifah Al-Mutawakkil Alallah II ini.

Al-Mustamsik Billah
Selanjutnya, kekhalifahan dipegang oleh Khalifah Al-Mustamsik Billah. Joesoef Sou'yb dalam bukunya Sejarah Daulah Abbasiyah III menyebutkan, Khalifah Al-Mustamsik berkuasa selama tiga tahun (1507-1510 M).

Al-Mutawakkil Alallah III
Setelah itu, kekuasaan diambil alih oleh Muhammad Al-Mutawakkil Alallah III. Ia berkuasa dari 1510 M hingga 1517 M. Dia merupakan khalifah terakhir Bani Abbasiyah di Mesir.

Al-Mutawakkil III didepak sebelum akhir masa pemerintahannya pada 1516 oleh pendahulunya, Al-Mustamsik. Namun kedudukannya segera dipulihkan kembali pada tahun berikutnya.

Pada 1517, Sultan Salim I dari Turki Utsmani berhasil mengalahkan kekhalifahan Mamluk dan menjadikan Mesir bagian dari negaranya. Al-Mutawakkil III dibawa ke Istanbul dan terjadilah timbang resmi jabatan khalifah.

Konon, saat itu juga Al-Mutawakkil III menyerahkan jabatan khalifah dan lambangnya, pedang dan mantel Nabi Muhammad SAW kepada Sultan Salim I. Sejak saat itu, para penguasa Turki Utsmani dipanggil juga dengan sebutan khalifah, yang sebelumnya mereka menamakan diri sebagai Sultan.

Dengan demikian, berakhirlah era kekuasaan Daulah Abbasiyah di Mesir. Tongkat kekhalifahan beralih ke tangan penguasa Turki Utsmani. Sebagian sejarawan menganggap para penguasa di Istanbul ini bukan khalifah tapi kesultanan. Namun tak bisa dihindari, yang berkuasa penuh kala itu adalah kesultanan Turki Utsmani.

Para penguasa Muslim di beberapa wilayah, menyatakan tunduk kepadanya. Oleh sebab itu, tidak salah kalau pemerintahan Turki Utsmani adalah kekhalifahan Islam yang diakui kaum Muslimin secara keseluruhan.

Hal ini berlangsung hingga 3 Maret 1924 Masehi, ketika presiden pertama Turki sekuler, Mustafa Kamal Ataturk, menghapuskan sistem khilafah dari muka bumi dan menggantinya dengan sistem sekuler hingga kini.

AlMustanjid Billah(1460-1485 M)

Sejarah Para Khalifah: Al-Mustanjid Billah, Ditawan Hingga Wafat
Rabu, 18 Mei 2011 07:19 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Al-Mustanjid Billah, Abu Al-Mahasin, Yusuf bin Al-Mutawakkil Alallah dilantik sebagai khalifah (1460-1485 M) setelah saudaranya, Al-Qaim Biamrillah, wafat. Yang menjadi sultan saat itu adalah Al-Asyraf Inal.

Inal meninggal pada 865 H. Sebagai penggantinya naiklah anaknya, Ahmad, dengan gelar Al-Muayyid. Namun Khasyqadam merebut kesultanan dari tangan Al-Muayyid.

Al-Muayyid ditangkap pada Ramadhan di tahun pengangkatannya sebagai sultan. Khalifah Al-Mustanjid kemudian mengangkat Khasyqadam sebagai sultan baru dan memberinya gelar Azh-Zhahir. Dia menjadi sultan hingga akhir hayatnya, yaitu pada Rabiul Awal 872 H.

Setelah itu diangkatlah Balbay sebagai sultan dengan gelar Azh-Zhahir juga. Namun dua bulan setelah duduk di kursi kesultanan, Balbay didepak oleh para tentara. Sebagai penggantinya, khalifah menunjuk Tamrigh, juga dengan gelar Azh-Zhahir. Tamrigh juga diturunkan secara paksa dari kursi kesultanan.

Khalifah akhirnya mengangkat Qayatabay sebagai sultan dengan gelar Al-Asyraf. Kesultanan menjadi stabil di dalam genggamannya. Qayatabay dikenal sebagai sultan yang pemberani dan kuat. Satu hal yang belum pernah terjadi sejak masa kesultanan An-Nashir Muhammad bin Qalawun. Buktinya adalah ia pernah mengadakan perjalanan dari Mesir ke Furat dan hanya ditemani oleh sekelompok kecil tentara tanpa pengawalan ketat.

Di antara catatan emas yang pernah dilakukan khalifah adalah dia tidak pernah mengangkat seroang pun di Mesir untuk menduduki posisi-posisi yang sifatnya keagamaan, seperti hakim, guru dan pengajar di masjid kecuali orang-orang yang diangkat tadi pasti akan melakukan perbaikan-perbaikan yang sangat penting setelah sebelumnya kacau-balau. Al-Mustanjid tidak pernah mengangkat seorang hakim atau syekh tertentu atas dasar uang dan gaji.

Di awal pengangkatannya sebagai sultan, Azh-Zhahir langsung didatangi oleh penguasa Syam, Hatim. Ini terjadi karena adanya kesepakatan antara Hatim dengan tentara yang ada di kalangan sultan. Setelah mendengar kedatangan Hatim, Azh-Zhahir meminta khalifah, para hakim yang empat dan tentara untuk datang ke benteng.

Ketika semua yang datang meninggalkan benteng, Azh-Zhahir melarang Khalifah Al-Mustanjid kembali ke kediamannya. Al-Mustanjid tetap tinggal di tempat itu hingga meninggal dunia pada Sabtu 14 Muharram 888 H, setelah sebelumnya menderita sakit selama dua tahun. Jenazahnya dishalatkan di benteng. Setelah itu dibawa ke makam para khalifah. Saat meninggalnya, Al-Mustanjid berusia 90 tahun atau lebih.


Redaktur: cr01

Al-Qaim Biamrillah(1455-1461 M)

Sejarah Para Khalifah: Al-Qaim Biamrillah, Pemberani Namun Kejam
Selasa, 17 Mei 2011 19:50 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Al-Qaim Biamrillah Abu Al-Baqa’, nama aslinya Hamzah bin Al-Mutawakkil. Ia dilantik sebagai khalifah (1455-1460 M) sepeninggal saudaranya. Al-Mustakfi Billah tidak memberikan wasiat kepadanya dan tidak pula kepada yang lainnya.

Dia dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani dan keras, namun tidak mampu menegakkan kekhilafahan kecuali beberapa sisinya saja. Dia terkenal sebagai seorang yang berwatak kejam, satu sifat yang sangat berbeda dengan saudara-saudaranya.

Pada masa pemerintahan Al-Qaim ini, Sultan Malik Azh-Zhahir Jaqmaq meninggal dunia pada awal 857 H. Setelah itu dinobatkanlah anaknya, Utsman, dan diberi gelar Al-Manshur. Namun kekuasaannya berumur pendek. Dia menjabat sebagai sultan hanya sebulan setengah.

Hal ini disebabkan karena Inal merebut kekuasaan dari Al-Manshur yang kemudian menangkapnya. Khalifah mengangkat Inal sebagai sultan pada Rabiul Awal. Dia bergelar Al-Asyraf. Setelah itu terjadi perseteruan sengit antara Khalifah Al-Qaim dan Sultan Al-Asyraf. Pasalnya, keduanya berbeda pendapat tentang pengiriman tentara.

Akhirnya khalifah diturunkan dari jabatannya pada Jumadil Akhir 859 H. Dia kemudian diungsikan ke Iskandariyah dan dipenjarakan di sana hingga wafat pada 863 H. Dia dimakamkan berdekatan dengan kuburan saudaranya, Al-Musta’in.

Kedua kakak beradik ini adalah dua khalifah yang sama-sama dicopot dari kursi kekhilafahan. Keduanya juga sama-sama dipenjarakan di Iskandariyah (Alexandria) dan akhirnya sama-sama dimakamkan di tempat itu.

Al-Mustakfi Billah (1446-1455 M)

Sejarah Para Khalifah: Al-Mustakfi Billah, Khalifah yang Saleh
Selasa, 17 Mei 2011 11:19 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Al-Mustakfi Billah, Abu Ar-Rabi’ Sulaiman bin Al-Mutawakkil. Dia dibaiat sebagai khalifah (1446-1455 M) berdasarkan wasiat saudara kandungnya, Al-Mu’tadhid Billah. Ayahnya menuliskan teks surat pengangkatan dirinya sebagai berikut:

“Ini surat kesaksian yang saya tulis untuk jiwa bersih yang Allah jaga dan Allah lindungi dari berbagai kotoran. Pemuka dan junjungan kami, jiwa yang bersih dan suci, yang mengalir dalam dirinya sifat kepemimpinan dan kemuliaan, serta darah Bani Abbas dan kekerabatan dengan Rasulullah. Amirul Mukminin Al-Mu’tadhid Billah Abu Al-Fath Dawud, yang Allah kokohkan agama dengannya dia telah mewasiatkan agar khilafah ini dipegang oleh saudara kandungnya, junjungan kami Abu Ar-Rabi’ Sulaiman Al-Mustakfi Billah. Semoga Allah memberikan keagungan dalam dirinya dalam mengurusi kekhilafahan yang diagungkan ini.”

Al-Mu’tadhid menjadikan saudaranya sebagai khalifah setelah dirinya menjadi imam kaum Muslimin. Ini sebuah wasiat yang sah menurut syariat, yang resmi dan diridhai sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban dirinya demi mewujudkan kemaslahatan orang-orang yang mentauhidkan Allah. Juga sebagai usaha meneladani sunnah para Khulafaur Rasyidin dan para imam yang mendapat petunjuk.

Ini semua dilakukan karena Al-Mu’tadhid mengetahui tentang kebaikan agama, keluhuran akhlak, dan keadilannya. Al-Mustakfi memiliki kemampuan yang memadai untuk memangku jabatan ini. Al-Mu’tadhid merasa yakin, orang yang dia pilih adalah orang yang paling takwa di sisi Allah dan paling berhak menerimanya.

Menurut Al-Mu’tadhid, jika tidak menentukan pilihan, maka hal itu akan banyak merepotkan ahlul halli wal aqdi dalam menetapkan imam setelah dirinya. Dia segera berwasiat tentang khilafah ini agar mereka terbebas dari beban, dan perkara ini sampai kepada orang yang benar-benar berhak.

Khalifah Al-Mustakfi adalah seorang khalifah Bani Abbas yang memiliki nilai-nilai kesalehan. Dia sangat taat beragama dan dikenal sebagai ahli ibadah. Gemar membaca ayat Allah, senantiasa mengerjakan shalat, serta sering bermunajat kepada Allah. “Saya tidak pernah melihat Sulaiman sejak masa kecilnya melakukan dosa-dosa besar,” kata Al-Mu’tadhid tentang perilaku saudaranya itu.

Menurut Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’, ayahnya memiliki posisi terhormat, pandangannya dalam dan sangat dihormati. Mereka besar di lingkungan dan di tengah kemuliaan akhlak dan perilaku. Keluarganya adalah keluarga yang baik dalam ibadah dan muamalah. “Saya tidak pernah melihat sebuah keluarga setelah keluarga Umar bin Abdul Azis yang memiliki nilai-nilai ibadah yang demikian kokoh seperti keluarga khalifah ini,” tulis Suyuthi.

Al-Mustakfi wafat pada Jumat akhir Dzulhijjah 854 H dalam usia 63 tahun. Sedangkan ayah Imam As-Suyuthi, meninggal 40 hari setelah meninggalnya Khalifah Al-Mustakfi. Ketika dimakamkan, Sultan Azh-Zhahir (Jaqmaq) mengiringinya ke pemakaman dan membawa keranda jenazah Khalifah.

Al-Mutadhid Billah (1416-1446 M)

Sejarah Para Khalifah: Al-Mu'tadhid Billah, Dekat dengan Ulama
Senin, 16 Mei 2011 13:52 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Al-Mu'tadhid Billah, Abu Al-Fath. Nama aslinya Dawud bin Al-Mutawakkil. Ibunya seorang mantan budak asal Turki bernama Kazal. Dia dilantik sebagai khalifah setelah saudaranya, Al-Musta'in, meninggal pada 815 H.

Sedangkan yang menjadi sultan saat itu adalah Al-Muayyid. Dia menjadi sultan hingga meninggal pada Muharram 824 H. Setelah meninggal, anaknya yang bernama Ahmad diangkat menjadi sultan dengan gelar Al-Muzhaffar. Dan sebagai orang kepercayaannya diangkatlah Thatar. Namun Thatar menangkap Al-Muzhaffar pada bulan Sya'ban.

Akhirnya Khalifah Al-Mu'tadhid mengangkat Thatar sebagai sultan dan bergelar Azh-Zhahir. Thatar meninggal pada Dzulhijjah tahun itu juga. Anaknya yang bernama Muhammad naik menjadi sultan dan bergelar Ash-Shalih. Lalu dia mengangkat orang kepercayaannya, yaitu Barsabay. Barsabay melakukan pemberontakan terhadap Ash-Shalih dan mencopot kedudukannya sebagai sultan.

Khalifah mengangkat Barsabay sebagai sultan pada Rabiul Awal 825 H. Dia menjadi sultan hingga meninggalnya pada Dzulhijjah 841 H. Setelah itu naiklah anaknya, Yusuf, ke kursi kesultanan. Yusuf bergelar Al-Azis. Jaqmaq diangkat sebagai orang kepercayaannya.

Namun sejarah berulang, Jaqmaq memberontak dan menangkap Al-Azis pada Rabiul Awal 842 H. Jaqmaq diangkat sebagai sultan oleh Khalifah Al-Mu'tadhid dengan gelar Azh-Zhahir. Pada masa kesultanan Jaqmaq inilah, Khalifah Al-Mu'tadhid meninggal dunia.

Al-Mu'tadhid adalah khalifah yang hebat, memiliki perilaku yang baik dan cerdik. Ia selalu bergabung dengan ulama dan orang-orang yang memiliki sifat-sifat utama, serta mengambil manfaat dari ilmu mereka. Selain itu, dia juga dikenal sebagai seorang yang dermawan dan sangat toleran.

Dia meninggal pada hari Ahad bulan Rabiul Awal 845 H. Saat meninggal, usianya mendekati tujuh puluh tahun. Ibnu Hajar berkata, "Saya mendengar dari anak saudara perempuannya bahwa dia meninggal dalam usia 73 tahun."



Redaktur: cr01

Al-Musta'in Billah (1409-1416M)

Sejarah Para Khalifah: Al-Musta'in Billah, Khalifah Sekaligus Sultan
Minggu, 15 Mei 2011 13:34 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Al-Musta'in Billah, Abu Al-Fadhl bernama Al-Abbas bin Al-Mutawakkil. Ibunya seorang mantan budak berasal dari Turki bernama Bay Khatun. Dia dilantik sebagai khalifah pada Rajab 808 H (1409-1416 M). Sedangkan yang menjabat sebagai sultan waktu itu adalah Al-Malik An-Nashir Faraj.

Tatkala An-Nashir berangkat untuk membunuh Syekh Al-Mahmudi dan ternyata dia kalah dan terbunuh, maka dilantiklah khalifah sebagai sultan. Hal ini tidak dilakukan kecuali setelah melalui proses panjang dan perdebatan panas serta perjanjian dari para pejabat sebelum dilakukan pengambilan sumpah.

Maka kembalilah khalifah ke Mesir, sedangkan para pejabat setia mendampinginya. Dialah yang mengangkat dan menurunkan pejabat. Namanya dicantumkan pada mata uang. Dia tidak mengubah gelar yang dipakainya. Syekhul Islam Ibnu Hajar menulis satu sajak panjang untuk melukiskan masalah ini.

Tatkala Al-Musta'in tiba di Mesir, ia tinggal di benteng, sedangkan Syekh Al-Mahmudi tinggal di Ishthabla. Al-Musta'in menyerahkan masalah kerajaan dan kesultanan di Mesir kepada Al-Mahmudi. Ia diberi gelar Nidzam Al-Mulk. Dengan demikian, para pejabat yang sudah melakukan tugas-tugas kenegaraan dengan khalifah juga akan pergi ke Ishthabla untuk menemui Syekh Al-Mahmudi. Ternyata sang syekh tidak suka dengan perlakuan seperti ini.

Setelah itu datanglah Dawud, saudara Al-Musta'in, menemui Khalifah dan mengajarkan kepadanya bagaimana membuat surat dan tanda tangan. Namun Dawud melakukannya dengan tindakan yang kelewat batas. Dia meminta Khalifah agar tidak mengeluarkan surat edaran apa pun sebelum memperlihatkan kepada dirinya. Khalifah merasa tersinggung dengan tindakan tersebut.

Pada bulan Sya'ban, Syekh Al-Mahmudi meminta Khalifah untuk menyerahkan kesultanan kepadanya sebagaimana biasanya. Khalifah memenuhi permintaan tersebut, namun dengan syarat ia harus bisa tinggal di rumahnya, bukan di benteng. Syekh Al-Mahmudi setuju dengan syarat yang diminta khalifah. Ia pun menduduki kursi kesultanan. Dia menggelari diri dengan sebutan Al-Muayyid, dan secara terang-terangan menyatakan bahwa khalifah dicopot dari kekuasaannya.

Al-Muayyid membaiat Dawud sebagai khalifah, sedangkan Al-Musta'in dipindahkan dari istana ke sebuah rumah di benteng. Khalifah tidak sendirian, ia ditemani oleh seluruh keluarganya.

Al-Muayyid melarang khalifah untuk bertemu dengan orang lain. Apa yang dilakukan Al-Muayyid ini sampai ke telinga Naurus, penguasa wilayah Syam. Naurus segera mengumpulkan para hakim dan ulama serta meminta fatwa atas apa yang dilakukan Al-Muayyid dengan mencopot khalifah dan mengurungnya di suatu tempat.

Mereka mengeluarkan fatwa bahwa apa yang dilakukan Al-Muayyid tidak sah dan bertentangan dengan Islam. Yang hadir pun sepakat untuk menyatakan perang kepada Al-Muayyid. Tantangan ini disambut oleh Al-Muayyid. Peristiwa ini terjadi pada 815 H.

Sedangkan Al-Musta'in dipindahkan ke Iskandariyah. Dia dipenjarakan di tempat itu dan baru dikeluarkan pada saat Thatar menjadi sultan, dan ia pun diizinkan datang ke Kairo. Namun Al-Musta'in memilih tetap tinggal di Iskandariyah karena menganggap tempat itu cocok untuknya.

Al-Mu'tashim kemudian berniaga dan memperoleh keuntungan dari usahanya. Dia tetap tinggal di Iskandariyah hingga meninggal dunia.

Redaktur: cr01

Al-Mutawakkil Alallah(1364-1409M)

ejarah Para Khalifah: Al-Mutawakkil Alallah, Sesepuh Para Khalifah
Sabtu, 14 Mei 2011 19:43 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Dia menjadi khalifah berdasarkan wasiat ayahnya, dan dilantik pada Jumadil Ula 763 H (1364-1409 M). Dia berkuasa sebagai khalifah dalam waktu yang sangat lama, empat puluh lima tahun, dan memiliki banyak anak. Lima di antara anaknya menjadi khalifah; Al-Musta’in Al-Abbas, Al-Mu’tadhid Dawud, Al-Mustakfi Sulaiman, Al-Qaim Hamzah dan Al-Mustanjid Yusuf.

Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya antara lain pada 764 H, Sultan Muhammad Al-Manshur dicopot. Dan sebagai penggantinya duduklah Sya’ban bin Husain An-Nashir Muhammad bin Qalawun yang kemudian memakai gelar Al-Asyraf.

Pada 773 H, Khalifah Al-Mutawakkil memerintahkan kepada para syarif (orang-orang mulia atau keturunan nabi) untuk memakai tanda hijau di sorban yang mereka pakai dengan tujuan agar berbeda dengan sultan. Ini merupakan inovasi yang dia lakukan untuk pertama kali.

Pada tahun ini pula muncul manusia terkeji dalam sejarah manusia yang bernama Timur Leng (Tamerlane) yang memporak-porandakan negeri, dan membantai manusia. Dia terus melakukan kerusakan di muka bumi hingga mati dalam laknat Allah pada 807 H. Timur Leng adalah petani biasa. Sejak masa mudanya dia tumbuh sebagai pencuri dan perampok jalanan. Setelah itu dia bergabung dengan orang-orang yang bertugas memberi makan kuda sultan. Ia kemudian mengokohkan posisinya setelah kematian sultan.

Pada 778 H, Sultan Al-Asyraf meninggal karena dibunuh, kemudian digantikan anaknya yang bernama Ali dan bergelar Al-Manshur.

Pada Rabiul Awal 779 H, terjadi peristiwa yang sangat menggemparkan, yaitu saat Aynabaik Al-Badri Zakaria, pemimpin laskar, meminta Umar bin Ibrahim bin Al-Mustamsik Billah bin Al-Hakim untuk menjadi khalifah. Umar bin Ibrahim pun menobatkan dirinya sebagai khalifah tanpa proses baiat dan tanpa kesepakatan kaum Muslimin. Dia diberi gelar Al-Mu’tashim Billah. Setelah itu dia memerintahkan Khalifah Al-Mutawakkil agar diasingkan ke Qush karena ia menyimpan dendam atas terbunuhnya Asyraf.

Tak lama kemudian, Khalifah Al-Mutawakkil keluar dari pengasingan dan kembali memangku jabatan khalifah. Al-Mu’tashim pun dicopot dari jabatannya. Dengan demikian, ia menduduki jabatan khalifah hanya dalam waktu 15 hari saja.

Pada Shafar 783 H, Sultan Al-Manshur meninggal dunia. Saudaranya yang bernama Haji bin Asyraf menggantikannya dengan gelar Ash-Shalih. Setahun kemudian, Ash-Shalih dicopot dari jabatannya, dan sebagai penggantinya adalah Barquq dengan gelar Az-Zhahir. Dia orang pertama yang menjadi sultan dari kalangan Jarasikah.

Pada Rajab 785 H, Barquq atawa Az-Zhahir menangkap Khalifah Al-Mutawakkil dan memenjarakannya di benteng Jabal. Untuk menduduki kursi khilafah yang kosong, maka diangkatlah Muhammad bin Ibrahim bin Al-Mustamsik bin Al-Hakim dengan gelar Al-Watsiq Billah. Sejak itulah Al-Watsiq menjadi khalifah hingga meninggalnya pada Rabu 17 Syawal 788 H.

Para pembesar melobi Barquq untuk segera mengembalikan Khalifah Al-Mutawakkil pada posisinya. Namun dia menolak usulan itu. Dia bahkan memanggil saudara Muhammad (Al-Watsiq Billah) bernama Zakaria bin Ibrahim bin Al-Mustamsik bin Al-Hakim, yang saat itu menjabat sebagai gubernur di Yasirah. Dia dilantik dan diberi gelarAl-Mu’tashim Billah. Masa pemerintahannya berlangsung hingga 791 H.

Barquq merasa sangat menyesal dengan apa yang dilakukannya pada Al-Mutawakkil. Oleh sebab itu, ia segera mengeluarkan Al-Mutawakkil dari penjara dan mengembalikan kedudukannya sebagai khalifah. Sedangkan Zakaria (Al-Mu’tashim) dicopot dari jabatannya. Zakaria meninggal di rumahnya, sementara Al-Mutawakkil terus menjadi khalifah hingga ia wafat.