Kamis, 09 Juni 2011

dunia sufi yg misteri (2)

Dunia Sufi Yang Misteri (Bagian 2)

Posted on April 29, 2011 by SufiMuda

Seperti yang saya kemukakan pada tulisan yang lalu banyak pendapat atau kesan yang kurang tepat atau keliru tentang bagaimana seharusnya kehidupan para sufi. Salah satu pandangan negatif orang terhadap kaum sufi adalah tentang Zuhud yang merupakan salah satu maqam yang harus dilewati oleh para sufi. Tentang zuhud sekilas telah pernah saya bahas dalam tulisan Zuhud Yang Sebenarnya dan disini saya ingin menulis dua pendapat yang berbeda tentang zuhud.

Pendapat pertama, zuhud berarti berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharapkan dan menginginkan suatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirati. Pengertian pertama ini akhirnya berkembang ekstrim sehingga zuhud berarti benci dan meninggalkan sama sekali sesuatu yang bersifat duniawiyah.

Pendapat kedua, zuhud tidak berarti semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi. Tapi zuhud sebenarnya adalah kondsi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam pengabdian diri kepada Allah SWT.

Saya pribadi lebih condong kepada pengertian kedua dengan alasan selain Al Qur’an dan Hadist yang tidak menyuruh kita kearah pengertian zuhud yang ekstrim pertama, juga kehidupan para sahabat zaman Rasulullah dan kehidupan sahabat semasa Khulafaur Rasyidin. Sahabat-sahabat utama Rasulullah seperti Abu Bakar AsShiddiq, Usman bin Affan dan Abdul Rahman bin ‘Auf adalah orang-orang yang kaya. Walaupun mereka kaya, mereka tetap hidup sebagai orang zuhud, yaitu hidup sederhana, dimana kekayaan mereka tidak akan mengurangi apalagi memalingkan pengabdian diri mereka kepada Allah SWT.



Pengertian zuhud yang kedua ini sesuai dengan firman Allah SWT :

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri“. (Q.S. Al Hadid : 23).

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampong akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu.” (Q.S. Al Qashash : 57).

Pengertian kedua ayat ini adalah bahwa kita manusia tidak dapat memisahkan diri sama sekali dari harta dan segala bentuk kesenangan duniawi yang di ridhai Allah, sebab kita masih hidup di alam dunia. Pengertian lain adalah bahwa harta benda tidak dilarang untuk dimiliki, tetapi harta benda tersebut tidak boleh mempengaruhi atau memperbudak seseorang, sehingga menghalangi yang bersangkutan untuk menghampirkan dirinya kepada Allah SWT, atau dengan kata lain, sikap seorang sufi tidak boleh diperbudak oleh harta duniawi, tetapi hata duniawi itu dijadikan persembahan, pengabdian ubudiyah lebih banyak lagi kepada Allah SWT.

Yang menjadi pertanyaan, “Apa sebab terjadinya sikap zuhud ini, dan kenapa muncul anggapan bahwa sufi identik dengan sikap zuhud?”. Harus di akui bahwa Kajian dan gerakan zuhud ini memang muncul pertama kali di kalangan pengamal tasawuf pada akhir abad pertama hijriah. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup mewah para khalifah dan keluarganya serta pembesar Negara yang merupakan dampak dri kekayaan yang diperoleh kaum muslim dalam pembebasan, penaklukan negeri-negeri Suriah, Mesir, Mesopotamia (Irak) dan Persia.

Semasa Dinasti Umayah pola hidup sederhana berubah menjadi pola hidup mewah dikalangan para Khalifah dan pembesar-pembesar Negara dan timbulnya jurang pemisah antara rakyat dan penguasa. Pola hidup mewah dan kondisi mental yang demikian tidak sesuai dengan ajaran dan amal agama seperti yang dicontohkan olh Rasulullah dan para sahabat. Disinilah awal timbulnya gerakan Zuhud sebagai wujud untuk menentang sikap dari Para penguasa yang hidup dalam kemewahan.



Tasawuf sebagai ajaran Islam harus sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist sebagai rujukan semua orang Islam dan kajian-kajian tasawuf yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist harus dipertanyakan kebenarannya walaupun meninjau Al Qur’an tidak selalu harus dari segi tekstual semata.

Islam menganjurkan pemeluknya untuk sunguh-sungguh mencari rizki dan tentang keutamaan mencari rizki anda bisa membuka Al Qur’an Surat : Al Jumu’ah ayat 10, Al Muzammil ayat 20 dan surat Al Baqarah ayat 198, dan ini menjadi petunjuk bagi kita tentang keutamaan mencari rizki agar hidup menjadi lebih baik di dunia ini.

Diriwayatkan bahwa Nabi Isa a.s melihat seorang laki-laki, maka Beliau besabda, “Apakah yang kamu kerjakan?”. Ia menjawab, “Saya beribadat”. Isa bersabda,”Siapakah yang menanggungmu?”. Ia jawab, “Saudaraku”. Isa bersabda,”Saudaramu lebih baik ibadahnya daripada kamu”.

Dalam sejarah, para sufi pada umumnya bekerja sendiri untuk mencari nafkahnya dalam berbagai bidang usaha, sehingga ada diantara mereka itu diberikan julukan-julukan sesuai bidang usahanya itu. Seperti Al Hallaaj (Pembersih kulit kapas), Al Qashar (Tukang Penatu), Al Waraak (Tukang Kertas), Al Kharraaz (Penjahit Kulit Hewan), Al Bazzaaz (Perajin Tikar Daun Kurma), Az Zujaaji (Pengrajin dari kaca) dan Al Farraa’ (Penyamak Kulit).

Tidak terkecuali juga sufi zaman sekarang, mereka tidak melupakan kewajibannya mencari nafkah diberbagai usaha menghidupi dirinya dan keluarganya. Menjadi seorang sufi tidak harus miskin dan melarat namun jika Tuhan memberikan anda cobaan dalam bentuk kemiskinan berarti Dia senang dengan kondisi tersebut dan anda harus tetap mensyukuri apapun yang diberikan oleh-Nya. Kemulyaan seseorang dimata Tuhan tidak terletak pada banyak atau sedikit harta tapi bagaimana hatinya selalu bisa mengingat Allah siang dan malam, sunyi dan ramai, susah dan senang sehingga kondisi apapun tidak mempengaruhi dirinya untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.

Gambaran Sufi yang saya kemukakan diatas mudah-mudahan bisa sedikit menghapus prasangka buruk orang-orang yang tidak paham dengan tasawuf atau orang-orang yang belum pernah belajar tasawuf namun sudah merasa menjadi sufi dengan kesusahan dan kemiskinannya. Anda menjadi miskin dan susah tidak berarti anda menjadi seorang sufi begitu juga anda menjadi kaya juga tidak berarti anda menjadi sufi Karena kesufian itu terletak di hati. Lanjutan dari tulisan ini akan kami ceritakan tentang tokoh-tokoh sufi yang kehidupannya kaya raya bahkan ada yang sangat kaya yang kekayaannya mengalahkan seorang Raja. Mudah2an tulisan ini bermanfaat hendaknya, salam.

dunia sufi yg misteri (1)

Dunia Sufi Yang Misteri (bagian 1)

Posted on April 28, 2011 by SufiMuda



Ketika anda mendengar kata “sufi” atau orang sufi saya yakin hampir sebagian kita tergambar sebuah kehidupan sederhana di padang pasir yang tandus, ada pohon kurma lengkap dengan ontanya serta tergambar juga dalam pikiran kita seorang yang pakaian sederhana memakai jubah dan surban seperti lazimnya orang Arab. Mungkin tidak semua dari anda berpandangan seperti itu, tapi itulah gambaran umum tentang kaum sufi dan gambaran itulah yang terekam dalam pikiran saya sebelum mengenal dunia sufi dari seorang Wali Allah.

Disampul buku-buku tasawuf juga kita lihat orang berjubah yang hidup sederhana, makanya tidak mengherankan banyak orang alergi dengan tasawuf karena dalam pandangan mereka orang sufi itu adalah jenis manusia zuhud yang tidak memerlukan lagi dunia, mereka hanya memikirkan Tuhan semata. Kritik tajam terhadap kaum sufi adalah mereka egois hanya memikirkan diri sendiri dengan ibadahnya sehingga melupakan hubungan dengan manusia.

Pandangan miring terhadap tasawuf dan dunia sufi itu saya dengar dalam sebuah perbincangan disebuah warung kopi, dimeja sebelah saya 4 mahasiswa IAIN sedang berbincang tentang sufi menurut pandangan mereka dan sangat disayangkan obrolan mereka bukan membahas kebaikan ajaran tasawuf tapi malah membahas hal-hal buruk tentang sufi. “Orang sufi ketika suluk tidak makan daging, dari mana dalilnya itu? Bukankah tindakan seperti itu tandanya tidak mensyukuri nikmat Allah, kenapa melarang sesuatu yang dihalalkan Allah?” demikian seorang mahasiswa memaparkan pandangannya tentang tasawuf. Kemudian yang lain menambahkan, “Saya setuju dengan tasawuf sebagai pelajaran akhlak, tapi saya tidak setuju dengan Tarekat, jumlahnya begitu banyak jadi membingungkan dan terkesan Islam itu terpecah padahal Islam itu kan satu, tidak ada ajaran-jaran khusus sejak zaman dulu dan Nabi dengan sifat amanahnya tidak pernah menyembunyikan ilmu apapun, sementara mereka (kaum sufi) mengatakan memperoleh ilmu laduni, mana ada dalil seperti itu?”. Obrolan yang mirip diskusi itu terus berlanjut membahas hal-hal yang mereka sendiri tidak memahami dengan lengkap dan saya sambil menikmati secangkir kopi hanya senyum-senyum saja. Sebelum meninggalkan warung kopi saya hampiri mereka dan mengatakan, “yang kalian bahas itu tidak ada hubungan sedikitpun dengan tasawuf, persis seperti orang buta membahas tentang Gajah yang tidak pernah dilihatnya. Kalau kalian ingin belajar tasauf jangan hanya membaca tapi carilah guru yang ahli untuk membimbing kalian agar bisa mengamalkan tasawuf dengan benar.” Mereka menatap saya dengan wajah terkejut dan saya segera meninggalkan mereka dengan sejuta tanda tanya. Dalam hati saya berdoa mudah-mudahan Allah membimbing mereka sehingga menemukan Guru Mursyid yang Kamil Mukamil.

Banyak orang membaca tentang tasawuf dan dunia sufi dari orang-orang yang tidak memahami sepenuhnya tentang tasawuf, hanya memahami secara teori dan kemudian pemahaman yang tidak lengkap tersebut dituangkan lagi dalam buku dan dibaca oleh orang awam maka timbul salah persepsi tentang tasawuf. Lebih parah lagi, membaca tentang tasawuf dari orang-orang yang memang anti dengan tasawuf, kelompok-kelompok yang mengambil ilmu dari orientalis yang selalu memojokkan tasawuf. Salah satu ucapan orientalis yang diyakini sebagian besar kaum muslim adalah mereka mengatakan tasawuf itu bukan berasal dari Islam tapi hasil percampuran antara Yahudi, Kristen dan filsafat yunani.

Dalam Islam sendiri ada kelompok yang memang sangat anti dengan tasawuf, saya tidak menyebutkan nama kelompok tersebut dan saya yakin anda mengerti yang saya maksudkan dan kebetulan kelompok tersebut bukan hanya tasawuf yang dianggap sesat tapi hampir seluruh aliran dalam Islam selain dari mereka dianggap sesat.

Kembali ke Sufi, karena seringnya kita membaca buku-buku tentang sufi, cerita sufi, anekdot sufi yang seluruh ceritanya sebagian besar menceritakan dengan latar belakang kehidupan di tanah Arab, dan itu wajar karena cerita-cerita tersebut diambil dari kitab-kitab yang ditulis oleh orang Arab.

Apakah Sufi itu hanya di arab? Dan apakah menjadi sufi itu harus selalu berjubah dengan sekian banyak tambalan, pakaian compang camping, memegang tongkat atau menggembala domba? Kalau menjadi sufi harus seperti itu maka saya yakin orang Indonesia tidak satupun memenuhi Kriteria menjadi seorang sufi .

Tasawuf adalah ajaran moral agar akhlak manusia menjadi lebih baik dan setahap demi setahap melangkah mendekatkan diri kepada Allah sampai benar-benar dekat sehingga tidak ada keraguan lagi yang disembah adalah Allah SWT. Seperti ucapan Abu Yazid ketika ditanya tenang Allah, Beliau berkata, “Tiada keraguan sedikitpun bahwa itu adalah Allah”.

Siapapun yang mengamalkan tasawuf, apakah orang arab, Indonesia, China bahkan orang Eropa sekalipun maka hatinya akan terisi dengan Nur Ilahi, memiliki gairah dalam berzikir mengingat Allah kemudian timbul rasa cinta dan rindu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sufi akan hadir dimana saja, mungkin dia suka nongrong di mall, atau sering duduk di warung kopi, atau sedang bekerja sebagai karyawan yang apapun yang dilakukan selalu tidak melupakan zikir kepada Allah. Bisa jadi teman disebelah anda dalam pesawat, tukang parkir yang sering senyum kepada anda, tukang bengkel yang memperbaiki mobil anda atau juga bahkan seorang penyanyi yang anda kagumi, jangan-jangan mereka adalah sufi yang selama ini anda cari. Tubuh mereka dibungkus oleh pakaian yang sesuai dengan zaman dan tempat mereka berada, namun hati mereka tidak berubah sedikitpun.

Sufi akan terus menjadi misteri sepanjang zaman dan tidak mudah dikenali kecuali oleh sufi itu sendiri. Mereka lebih senang kalau manusia tidak mengenali mereka sebagai sosok sufi yang alim, mereka lebih nyaman tidak diketahui agar terhindar dari sifat sombong dan ria. Mereka melakukan zikir lama-lama atas rasa cinta dan kerinduang kepada Sang Kekasih dan tentu saja tidak dilakukan di dalam mesjid atau tempat terbuka karena memang tujuan mereka beribadah bukan untuk mendapat pujian manusia

Bersambung…

memerlukan pembimbing(Mursyid)

Siapa Yang Tidak Memerlukan Pembimbing (Mursyid)?
Posted on Agustus 27, 2010 by SufiMuda

Dalam Futhuh al Ghaib, Syekh Abdul Qadir al Jailani menulis syair berikut :

Jika takdir membantumu atau kala menuntunmu

kepada Syekh yang jujur dan ahli hakikat

maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya

Tinggalkan apa yang sebelumnya engkau lakukan

Sebab menentang berarti melawan

Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat cakupan

Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya

Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam

Dan seseorang dapat menghunus pedangnya

Maka Musa pun meminta maaf

Demikian keindahan di dalam ilmu kaum sufi

Sebagian kita mungkin sudah sering mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku paling “islami” bahwa tasawuf adalah ilmu diluar islam, pembuat bid’ah, syirik dan lain sebagainya dan karena yang menyampaikan pendapat ini orang berlatar belakang pendidikan agama yang lumayan (baca: syariat), alumni arab Saudi atau mesir dengan sekian banyak title sehingga masyarakat awam dengan mudah langsung percaya. Sebagian mereka tidak tahu bahwa Arab Saudi bukan lagi menjadi tempat berkumpulkan berbagai macam mazhab akan tetapi telah menjadi corong bagi mazhab tunggal yang baru muncul di abad ke 17 yaitu mazhab wahabi.

Saya tidak membahas tentang tuduhan-tuduhan tersebut dan saya rasa itu tidak ada menfaatnya sama sekali. Kesempatan ini saya ingin menyampaikan informasi akan pentingnya belajar tasawuf/thariqat agar kita bisa merasakan nikmatnya beragama.

Belajar tasawuf ada dua jenis, yaitu secara Teori dan Praktek. Secara teori telah diajarkan di pasantren, IAIN bahkan anda bisa menjadi seorang profesor tasawuf tanpa anda harus mempraktekkan zikir dan dibimbing oleh mursyid. Namanya juga teori tentu yang didapatkan hanya teori saja.

Belajar tasawuf sebenarnya harus mempunyai pembimbing rohani, bukan saja mengajarkan anda tapi juga membimbing anda agar sampai kehadirat-Nya karena inti tasawuf adalah bagaimana seorang bisa berhampiran dengan Allah SWT. Tentang hal ini Abu Ali ats Tsaqafi berkata, “Seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang Syeikh yang memiliki akhlak yang luhur dan dapat memberinya nasehat-nasehat. Dan barang siapa yang tidak mengambil akhlaknya dari seorang Syeikh yang memerintah dan melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah”.

Jadi tasawuf adalah ilmu praktek dan tentu saja membutuhkan pembimbing yang ahli dibidangnya, tanpa adanya pembimbing rohani maka segala praktek yang dilakukan sudah pasti akan disesatkan setan. Abu Yazid Al-Bisthami berkata, “Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya.”

Apabila jalan kaum sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syekh, niscaya orang seperti Imam Al-Ghazali dan Syekh Izzuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syekh. Sebelum memasuki dunia tasawuf, keduanya pernah berkata, “Setiap orang yang mengatakan bahwa adalah jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah berbuat kebohongan kepada Allah.”. Zaman sekarang kita juga sering mendengar pendapat seperti itu, tidak mengakui ilmu selain yang mereka pelajari (syariat) dan menganggap orang-orang yang mempunyai kemampuan bathin, ilmu laduni dan lain sebagainya sebagai pembohong.

Akan tetapi, setelah Imam Al-Ghazali dan Syekh Izzuddin ibn Abdussalam yang tadinya hanya belajar syariat kemudian memasuki dunia tasawuf keduanya berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan).”

Orang yang bisa menemukan kebenaran bukanlah orang yang banyak membaca buku karena terkadang semakin banyak yang dipelajari justru tanpa sadar menjadi Hijab antara kita dengan Allah. Hanya kerendahan hati dan sikap mau belajar dan mencari yang menyebabkan seseorang menemukan Allah SWT, sebagai mana ucapan rendah hati Musa kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al Kahfi, 66). Juga pengakuan Ahmad ibn Hanbal bahwa Abu Hamzah al Baghdadi lebih utama darinya dan pengakuan Ahmad ibn Suraij bahwa Abu Qasim Junaid lebih utama darinya.

Imam al-Ghazali juag mencari seorang Syekh yang menunjukkannya ke jalan tasawuf, padahal ia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syekh Izzuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syekh Abu Hasan Asy Syadzili”. Abdul Wahab Asy Sya’rani berkata, “Apabila kedua ulama besar ini, yakni al-Ghazali dan Syekh Izzuddin ibn Abdussalam, padahal keduanya adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas tentang syariat, maka orang selain mereka lebih membutuhkan lagi.”

Dalam hal ini al Qur’an memberikan petunjuk kepada kita semua untuk mencari orang-orang yang telah di beri petunjuk oleh Allah SWT sebagaimana firman Allah: “Sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (QS. Al ankabut : 49). “Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku” (QS. Lukman: 15) dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar”. (QS. Taubah: 119). Diperkuat oleh hadist, “Jadilah kamu bersama Allah, apabila tidak bersama Allah jadilah kalian bersama orang yang sudah bersama Allah, maka sesungguhnya orang itu bisa membawamu kepada Allah” (HR. Abu Daud).

Dengan demikian, memiliki seorang pembimbing (mursyid) adalah suatu keharusan. Para sahabat sendiri mengambil ilmu dan amalan mereka dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengambil ilmu dan amalannya dari Jibril. Dan para tabi’in mengambil ilmu dan amalan dari para sahabat.

Setiap sahabat mempunyai para pengikut yang khusus. Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan al A’raj, misalnya, adalah pengikut Abu Hurairah. Sementara Thawus, Wahhab dan Mujahid, adalah pengikut Ibnu Abas. Demikian seterusnya. Pengambilan ilmu dan amalan ini sangat jelas, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mereka.

Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak segera mencari Guru Pembimbing yang siap menuntun dan membimbing kita mencapai kebenaran hakiki. Carilah Guru yang benar-benar kamil mukamil, khalis mukhlisin sehingga dia bukan hanya berbicara tentang teori ketuhanan akan tetapi dengan keikhlasannya mampu membimbing anda kehadirat Allah SWT. Kalau anda bertanya siapakah Guru Mursyid yang kamil mukamil tersebut, saya tidak bisa menjawab karena kawatir jawaban saya akan menyinggung perasaan yang lain. Bagi setiap pengamal tasawuf mereka meyakini Guru mereka memiliki kemampuan untuk membimbing mereka dan tidak terkecuali Guru saya.

Abu Athailah As Sakandari dalam Latha’if al Minan, berkata, “Engkau tidak akan kekurangan mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka”.

Seorang penyair sufi berkata :

Rahasia Allah didapat dengan pencarian yang benar

Betapa banyak hal menakjubkan yang telah diperlihatkan kepada para pelakunya.

Ali al Khawas berkata dalam syairnya,

Jangan menempuh jalan yang tidak engkau kenal tanpa penunjuk jalan,

Sehingga engkau terjerumus dalam jurang-jurangnya.

Penunjuk jalan (Mursyid) akan dapat mengantarkan salik sampai ke pantai yang aman dan menjauhkan dari gangguan-gangguan selama di perjalanan. Sebab, penunjuk jalan (mursyid) sebelumnya telah melewati jalan itu dibawah bimbingan seseorang (mursyid sebelumnya) yang telah mengetahui seluk beluk jalan tersebut, mengetahui tempat-tempat berbahaya dan tempat-tempat yang aman dan terus menemaninya sampai akhirnya dia sampai di tempat yang dituju. Kemudian orang tersebut memberikan izin untuk membimbing orang lain.

Menutup tulisan ini saya mengutip Syair dari Ibnu Al-Banna yang menjelaskan tentang kedudukan kaum sufi yang telah melakukan perjalanan menuju Allah dan setelah sampai disana mememberikan kabar kepada orang lain untuk menuju kesana dengan selamat.

Kaum sufi tidak lain sedang melakukan perjalanan

Ke hadirat Tuhan Yang Maha Benar

Maka mereka membutuhkan penunjuk jalan

Yang benar-benar mengenal seluk beluk jalan itu

Dia telah melalui jalan itu, lalu dia kembali

Untuk mengabarkan apa yang telah didapat.

*****************************************