Selasa, 28 September 2010

semangat wirausaha

Menumbuhkan Semangat Mengembangkan Peluang Wirausaha
Sebagai negara sedang berkembang, Indonesia termasuk masih kekurangan wirausahawan. Hal ini dapat dipahami, kerena kondisi pendidikan di Indonesia masih belum menunjang kebutuhan pembangunan sektor ekonomi. Perhatikan, hampir seluruh sekolah masih didominasi oleh pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang konvensional. Mengapa hal itu dapat terjadi? Di satu sisi institusi pendidikan dan masyarakat kurang mendukung pertumbuhan wirausahawan. Di sisi lain, banyak kebijakan pemerintah yang tidak dapat mendorong semangat kerja masyarakat, misalkan kebijakan harga maksimum beras, maupun subsidi yang berlebihan yang tidak mendidik perilaku ekonomi masyarakat.

Sebagian besar pendorong perubahan, inovasi dan kemajuan suatu negara adalah para wirausahawan. Wirausahawan adalah seorang yang menciptakan sebuah bisnis yang berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian bertujuan memperoleh profit dan mengalami pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi kesempatan dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan. Dewasa ini banyak kesempatan untuk berwirausaha bagi setiap orang yang jeli melihat peluang bisnis tersebut. Karier kewirausahaan dapat mendukung kesejahteraan masyarakat serta memberikan banyak pilihan barang dan jasa bagi konsumen, baik dalam maupun luar negeri. Meskipun perusahaan raksasa lebih menarik perhatian publik dan sering kali menghiasi berita utama, bisnis kecil tidak kalah penting perannya bagi kehidupan sosial dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Oleh karena itu pemerintah mengharapkan para sarjana yang baru lulus mempunyai kemampuan dan keberanian untuk mendirikan bisnis baru meskipun secara ukuran bisnis termasuk kecil, tetapi membuka kesempatan pekerjaan bagi banyak orang. Pihak perguruan tinggi bertanggung jawab dalam mendidik dan memberikan kemampuan dalam melihat peluang bisnis serta mengelola bisnis tersebut serta memberikan motivasi untuk mempunyai keberanian menghadapi resiko bisnis. Peranan perguruan tinggi dalam memotivasi para sarjananya menjadi young entrepreneurs merupakan bagian dari salah satu faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan. Menurut Thomas Zimmerer dalam bukunya, ada 8 faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan antara lain sebagai berikut :

1. Wirausahawan Sebagai Pahlawan.
Faktor diatas sangat mendorong setiap orang untuk mencoba mempunyai usaha sendiri karena adanya sikap masyarakat bahwa seorang wirausaha dianggap sebagai pahlawan serta sebagai model untuk diikuti. Sehingga status inilah yang mendorong seseorang memulai usaha sendiri.

2. Pendidikan Kewirausahaan.
Pendidikan kewirausahaan sangat populer di banyak akademi dan universitas di Amerika. Banyak mahasiswa semakin takut dengan berkurangnya kesempatan kerja yang tersedia sehingga mendorong untuk belajar kewirausahaan dengan tujuan setelah selesai kuliah dapat membuka usaha sendiri.

3. Faktor ekonomi dan Kependudukan.
Dari segi demografi sebagian besar entrepreneur memulai bisnis antara umur 25 tahun sampai dengan 39 tahun. Hal ini didukung oleh komposisi jumlah penduduk di suatu negara, sebagian besar pada kisaran umur diatas. Lebih lagi, banyak orang menyadari bahwa dalam kewirausahaan tidak ada pembatasan baik dalam hal umur, jenis kelamin, ras, latar belakang ekonomi atau apapun juga dalam mencapai sukses dengan memiliki bisnis sendiri.

4. Pergeseran ke Ekonomi Jasa
Di Amerika pada tahun 2000 sektor jasa menghasilkan 92% pekerjaan dan 85% GDP negara tersebut. Karena sektor jasa relatif rendah investasi awalnya sehingga untuk menjadi populer di kalangan para wirausaha dan mendorong wirausaha untuk mencoba memulai usaha sendiri di bidang jasa.

5. Kemajuan Teknologi.
Dengan bantuan mesin bisnis modern seperti komputer, laptop, notebook, mesin fax, printer laser, printer color, mesin penjawab telpon, seseorang dapat bekerja dirumah seperti layaknya bisnis besar. Pada zaman dulu, tingginya biaya teknologi membuat bisnis kecil tidak mungkin bersaing dengan bisnis besar yang mampu membeli alat-alat tersebut. Sekarang komputer dan alat komunikasi tersebut harganya berada dalam jangkauan bisnis kecil.

6. Gaya Hidup Bebas.
Kewirausahaan sesuai dengan keinginan gaya hidup orang Amerika yang menyukai kebebasan dan kemandirian yaitu ingin bebas memilih tempat mereka tinggal dan jam kerja yang mereka sukai. Meskipun keamanan keuangan tetap merupakan sasaran penting bagi hampir semua wirausahawan, tetapi banyak prioritas lain seperti lebih banyak waktu untuk keluarga dan teman, lebih banyak waktu senggang dan lebih besar kemampuan mengendalikan stress hubungan dengan kerja. Dalam penelitian yang telah dilakukan bahwa 77% orang dewasa yang diteliti, menetapkan penggunaan lebih banyak waktu dengan keluarga dan teman sebagai prioritas pertama. Menghasilkan uang berada pada urutan kelima dan membelanjakan uang untuk membeli barang berada pada urutan terakhir.

7. E-Commerce dan The World-Wide-Web
Perdagangan on-line tumbuh cepat sekali, sehingga menciptakan perdagangan banyak kesempatan bagi wirausahawan berbasis internet atau website. Data menunjukkan bahwa 47% bisnis kecil melakukan akses internet sedangkan 35% sudah mempunyai website sendiri. Faktor ini juga mendorong pertumbuhan wirausahawan di beberapa negara.

8. Peluang Internasional.
Dalam mencari pelanggan, bisnis kecil kini tidak lagi dibatasi dalam ruang lingkup Negara sendiri. Pergeseran dalam ekonomi global yang dramatis telah membuka pintu ke peluang bisnis yang luar biasa bagi para wirausahawan yang bersedia menggapai seluruh dunia. Kejadian dunia seperti runtuhnya tembok Berlin, revolusi di negara-negara baltik UniSoviet dan hilangnya hambatan perdagangan sebagai hasil perjanjian Masyarakat Ekonomi Eropa, telah membuka sebagian besar pasar dunia bagi para wirausahawan. Peluang Internasional akan terus berlanjut dan tumbuh dengan cepat pada abad ke 21.

Faktor yang mendukung pembahasan ini adalah faktor Pendidikan Kewirausahaan. Di luar negeri banyak universitas mempunyai suatu program khusus dalam mempelajari bidang kewirausahaan, sehingga ada suatu embrio young entrepreneur. Peranan perguruan tinggi hanya sekedar menjadi fasilitator dalam memotivasi, mengarahkan dan penyedia sarana prasarana dalam mempersiapkan sarjana yang mempunyai motivasi kuat, keberanian, kemampuan serta karakter pendukung dalam mendirikan bisnis baru.
0 comments
Home

Kamis, 02 September 2010

kemunduran ummat islam

Imperialisme Barat dan Kemunduran Umat Islam
Jumat, 03 September 2010 | Label: Sejarah dan Dunia Islam 0 komentar

Imperialisme modern pada hakikatnya adalah perang salib gaya baru yang dicanangkan oleh raja-raja Eropa. Tetapi dalih yang senantiasa dimunculkan hingga hari ini memang beragam tidak hanya kepentingan agama, tetapi juga politik dan ekonomi. Dalih ekonomi yaitu mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri. Seperti kita ketahui, revolusi industri mencapai puncaknya di eropa pada abad 17. Para pemimpin eropa menyadari betul, jika imperialisme ini digelari simbol dan kepentingan agama, maka akan mendapatkan perlawanan luar biasa dari kaum muslimin sebagaimana terjadi pada perang salib. Karenanya, mereka menyembunyikan dalam-dalam sisi ini, dan memunculkan semangat perbaikan dan kemajuan untuk melunakkan hati penduduk daerah jajahan.

Ilustrasi yang nyata dalam masalah ini bisa kita lihat dengan masuk Islamnya Napoloen Bonaparte setelah menguasai kota Iskandariyah Mesir pada tahun 1798 . Ia menyatakan dengan resmi keislamannya seraya mengatakan, “ Wahai rakyat Mesir, konon pernah dikatakan bahwa aku masuk ke negeri kalian dengan maksud memusnahkan agama kalian. Isu itu tersebut sama sekali tidak benar dan jangan kalian percayai. Katakan pada pendusta tersebut bahwa aku datang kepada kalian dengan tujuan mulia, yaitu mengembalikan hak-hak kalian yang sekarang berada di tangan penguasa yang kejam “. Hal semacam ini ditempuh Napoleon dengan maksud menghindari perlawanan sengit seperti yang dialami perang Salib karena membawa nama agama.

Maka yang terjadi kemudian negara Islam bak hidangan roti yang dibagi-bagi dengan mudahnya diantara negara-negara eropa. Inggris menjajah India, Mesir, Irak dan Yordania. Perancis menjajah Suriah dan Libanon. Di Asia Tenggara, Inggris menjajah Malaysia dan Singapura. Belanda menjajah Indonesia. Di Afrika, Perancis mendapat wilayah jajahan yang sangat luas dan berbagi dengan Inggris.

Kendati negara-negara imperialis berupaya menyembunyikan aspek agama dalam penjajahannya, namun kaum muslimin di negara-negara jajahan tidak sepenuhnya bisa dibohongi. Karenanya bermunculan gerakan perlawanan dimana-mana yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama dengan semangat jihadnya. Di Mesir, gerakan melawan penjajah dipimpin oleh ulama Al-Azhar yang mulia. Gerakan perlawanan lainnya juga terjadi di negara lainnya, seperti : Umar Mukhtar di Libya, Amir Muhammad bin Abdul Karim Al-Khottobi di Maroko, Syaikh Izzudin Al-Qossam di Palestina, dan Muhammad Ahmad al-Mahdi di Sudan. Begitu pula di Indonesia, tidak bisa kita pungkiri gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Imam Bonjol, Teuku Umar, Kyai Mojo, sangat terkait erat dengan semangat jihad menentang penjajah.

Bagaimana Imperialisme menjadi penyebab Kelemahan Umat Islam ?
Para pelaku imperialisme sangat menyadari bahwa selama kekuatan umat Islam dalam kondisi stabil dan bersatu, maka seluruh agenda imperialisme mereka akan susah untuk dicapai dan dijalankan. Karenanya, beriringan dengan penjajahan fisik yang mereka lakukan, serangkaian langkah strategis untuk melemahkan umat Islam juga segera dijalankan. Dua hal yang paling berpengaruh antara lain :

Pertama : Memecahbelah dan mengkotak-kotakan umat Islam
Upaya imperialisme sejak awal ditujukan untuk membagi-bagi dan mengkotak-kotakkan wilayah Islam yang sejatinya tak mengenal batas geografis. Setelah terjadi pembagian geografis, maka orang-orang Eropa mulai membangkitkan semangat nasionalisme di tiap daerah. Sehingga kaum muslimin disibukkan dengan urusan daerahnya sendiri dan tidak lagi memikirkan daerah muslimin lainnya. Bahkan lebih jauh lagi, dipertentangkan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Diberikan anggapan bahwa Mesir hanya bagi orang Mesir, Suriah hanya bagi orang Suriah, dan Irak bagi orang Irak. Hal ini ditambah lagi dengan slogan-slogan baru seperti : nasionalisme arab, nasionalisme Kurdi Irak, Nasionalisme Iran, dan Nasionalisme Kurdi Turki. Semua ini tanpa disadari menjadikan pemikiran dan kepedulian kaum muslimin menjadi menyempit, hanya sebatas daerah dan negaranya masing-masing. Cara lain yang digunakan oleh negara imperialis adalah dengan menganjurkan pendirian partai dan organisasi kecil atas nama demokrasi, untuk kemudian digunakan sebagai alat pecah belah rakyat yang mudah digunakan setiap saat.

Kedua : Memalingkan rakyat jajahannya dari agamanya
Para politikus, pemimpin militer dan para pemikir imperialisme mencurahkan seluruh pikirannya untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya. Mereka sangat mengetahui bahwa rahasia kekuatan umat Islam ada pada pemahaman mereka terhadap agamanya. Karenanya berbagai konferensi dan pertemuan intensif digelar untuk menyusun formula penjauhan umat Islam dari ajaran agamanya. Statemen Zwemmer sangat dikenal dalam hal ini, saat berbicara dalam konferensi negara-negara imperialis di Al-Quds setelah ditaklukannya kota tersebut, ia berpidato : ” Bahwa tugas besar dipundak para missionaris yang dikirim ke negara-negara Islam ialah mengeluarkan orang muslim dari keislamannya, agar ia menjadi manusia yang tidak memiliki hubungan dengan Allah. Dengan sendirinya ia kemudian tidak berpegang teguh dengan akhlak yang merupakan lambang suatu bangsa dalam kehidupannya.”. Gladston juga menegaskan hal ini dengan mengatakan, ”Sesungguhnya kepentingan Eropa di Asia tetap terancam selama disana masih ada Al-Quran yang dibaca dan Ka’bah yang kerap dikunjungi.

Untuk mencapai target tersebut, serangkaian langkah telah dijalankan dengan halus dan nyaris tidak mendapat penentangan dari kaum muslimin, antara lain :
1) Tasykik : membuat keragu-raguan tentang Islam sebagai solusi dalam kehidupan. Menuduhnya seolah sebagai agama yang kuno jauh dari ilmu pengetahuan.
2) Sekulerisasi : menjauhkan penguasa dari hukum syariat dengan dalih agama adalah perintang kemajuan bangsa.
3) Dikotomi pendidikan : menempatkan alumni pendidikan umum pada jabatan strategis dan meremehkan alumni pendidikan agama agar menjadi preseden buruk di masyarakat.
4) Menyebarkan kerusakan moral dalam masyarakat agar tenggelam dalam syahwat. Tak kurang seorang orientalis bernama Syatulyn mengatakan, ” Gelas dan artis mampu menghancurkan umat Muhammad dari seribu meriam, maka tenggelamkan umat muhammad ke dalam cinta materi dan syahwat.”
5) Mendirikan sekolah-sekolah untuk mendidik generasi ala barat dan menanamkan kebencian akan Islam sejak dini.
6) Membuka rumah sakit dan tempat penampungan untuk memudahkan penyebaran fikrohnya. Missionaris Irharz mengatakan : ” para dokter missionaris tidak boleh lupa meski dalam sekejap mata bahwa profesi utamanya adalah sebagai missionaris dan profesi dokter hanyalah sebagai sampingan saja”.
7) Memberikan beasiswa kepada anak-anak dan pemuda Islam untuk belajar di negaranya. Hal ini membuka jalan lebar bagi mereka menanamkan pemahaman yang salah tentang Islam sekaligus merusak kepribadian orang Islam.

Semua langkah di atas dilakukan dengan bertahap dan dalam jangka yang sangat panjang. Jika kita perhatikan, maka sungguh hari ini pun langkah-langkah di atas masih mengelilingi kehidupan masyarakat negara muslim secara keseluruhan. Wallahua'lam.

Tentang Penulis:Hatta Syamsuddin.Alumni Sudan, penulis dan dosen Mahad Abu Bakar UMS Surakarta. Selain itu juga menjadi Trainer Motivasi Keislaman dan Keluarga Romantis.Hubungi kami di sirohcenter@gmail.com
Artikel lainnya yang mungkin ingin Anda baca :
Sejarah dan Dunia Islam

* Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Palestina ?
* Air Mata Rasulullah
* Belajar dari Kecerdasan para Nabi
* Inspirasi Cinta & Kesabaran dari Keluarga Nabi Ayub
* Secarik Inpirasi dari Hajjaj bin Yusuf
* Fakta Quran tentang Permasalahan Gaza (Repost)
* Dari Hina menjadi Mulia !
* Mengelola Keberanian
* Aktifis Dakwah dan Aliran Dana FB ke Israel

Rabu, 01 September 2010

koreksi selama ramadhan...

KOREKSI KESALAHAN DI BULAN RAMADHAN.......

PERTANYAAN
Sebagai orang yang ingin beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan pahala serta ridha-Nya, maka tentunya sebagaimana yang kami ketahui haruslah ibadah tersebut benar, sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah, dan bebas dari adanya kesalahan pada ibadah tersebut. Sehubungan dengan makin dekatnya bulan Ramadhan dan untuk menjaga agar ibadah (khususnya puasa) pada bulan tersebut lepas dari kesalahan, maka kami memohon penjelasan tentang bentuk-bentuk kesalahan yang ada dan dilakukan orang di bulan Ramadhan ini. Terima kasih
.
JAWABAN
Orang sering menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syariat Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena itu, kami akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasihat dan bekal menyambut bulan Ramadhan. Berikut beberapa kesalahan tersebut.


1. Menentukan Masuknya Bulan Ramadhan dengan Menggunakan Ilmu Falaq atau Ilmu Hisab
Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan,
“Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa.” [ Al-Baqarah: 185 ]
Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum riwayat Bukhary -Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا
“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah.”
Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.
Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu Hisab, “Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas mereka.” Lihat Subulus Salam 2/242.
Berkata pula Ibnu Bazîzah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan, “Ini adalah madzhab yang bathil. Syariat telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang tidak jelas.” Lihat Subulus Salam 2/242.
Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/243, “Jawaban terhadap mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِيْ تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari).”.”


2. Kebiasaan Berpuasa Sehari atau Dua Hari Sebelum Ramadhan dengan Maksud Ihtiyath (Berjaga-Jaga)
Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnah maka hendaknyalah ia berpuasa.”
Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/239, “Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga).”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160), “… karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan- ….”
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 ( Tuhfatul Ahwadzy ), “ Para ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan ….”
Berkata Imam An-Nawawy, “Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah.” Lihat Syarh Shahîh Muslim 7/158.
Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath. Adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.


3. Meninggalkan Makan Sahur
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan serta menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan kesepakatan para ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat Syarh Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.
Dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali, di antaranya hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah.”
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupun perkara-perkara akhirat, dan berkah tersebut bermacam-macam, di antaranya:
Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.
Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab, sebagaimana dalam Shahîh Muslim , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ
“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur.”
Menambah kekuatan dan semangat, khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.
Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdoa dan meminta rahmat, sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat doa yang makbul.
Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.


4. Mempercepat Makan Sahur
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa selang waktu antara selesainya beliau makan sahur dengan permulaan shalat subuh adalah (selama bacaan) 50 ayat yang sedang (tidak panjang dan tidak pendek). Hal ini dapat dipahami dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Bukhary-Muslim,
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ
“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata, ‘ Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan) ?’ Ia (Zaid bin Tsabit) menjawab, ‘ Lima puluh ayat. ’ .”
Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shahîh Muslim (7/169), “Hadits ini menunjukkan sunnahnya mengakhirkan sahur.”
Lihat Ihkamul Ahkam 3/334 karya Ibnu Daqiqil ‘Ied, Al-I’lam 5/192-193 karya Ibnul Mulaqqin dan Fathul Bary 4/128 karya Ibnu Hajar.


5. Menjadikan Imsak Sebagai Batasan Sahur
Sering kita mendengar tanda-tanda imsak, seperti suara sirine, ayam berkokok, beduk, yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah (perkara baru) sesat yang sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang mulia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. [ Al-Baqarah: 187 ]
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada dua kali: adzan pertama dan adzan kedua. Pada adzan pertama, seseorang masih boleh makan sahur dan batasan terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat subuh.
Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya adalah pada adzan kedua yaitu adzan untuk shalat subuh, dan dari hal ini pula dapat dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang sisa ketika sudah masuk adzan subuh, karena kata hatta (sampai) dalam ayat Al-Qur`an bermakna ghayah, yakni akhir batasan waktu.


6. Melafadzkan Niat Puasa
Perkara melafazhkan niat merupakan bid’ah (hal baru) yang sesat dalam agama dan tidak disyariatkan karena beberapa hal:
Tidak ada sama sekali contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan para shahabatnya.
Bertentangan dengan makna niat secara bahasa yaitu bermakna maksud dan keinginan. Dan maksud dan keinginan ini letaknya di dalam hati.
Menyelisihi kesepakatan seluruh ulama bahwa niat letaknya di dalam hati.
Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya tuntunan agama karena melafazhkan niat itu adalah bid’ah.
Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya akal, seperti orang yang ingin makan lalu ia berkata, “ Saya berniat meletakkan tanganku ini ke dalam bejana, lalu saya mengambil makanan, kemudian saya telan dengan niat supaya saya kenyang ” .
Demikianlah, melafazhkan niat ini dianggap bid’ah oleh banyak ulama yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy-Syafi’iy, Alauddin Al-Aththar dan lain-lain.
Maka siapa yang berpuasa hendaknya berniat di dalam hati dan tidak melafazhkannya.
Lihat Majmu’ Al-Fatawa 18/263-264 dan 22/238, Syarhul ‘Umdah 2/290-291 karya Ibnu Taimiyyah, Zadul Ma’ad 1/201 karya Ibnul Qayyim dan Qawa’id Wa Fawaid Minal ‘Arbain An-Nawawiyah hal 31-32.


7. Tidak Berniat Sejak Malam Hari
Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syariat bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum yang mempunyai hukum marfu’ (seperti ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) dengan sanad yang shahih,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya.” Lihat jalan-jalan hadits ini dalam Irwa`ul Ghalil no. 914 karya Syaikh Al-Albany.
Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa Arab berarti waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.


8. Menganggap Bahwa Puasa Orang yang Junub (Atau yang Semakna Dengannya) Tidak Sah Bila Bangun Setelah Terbitnya Fajar dan Belum Mandi
Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah orang yang junub secara umum, mencakup junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri, dan yang semakna dengannya adalah perempuan yang haidh atau nifas. Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar maka tetap boleh untuk berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah riwayat Bukhary-Muslim,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِيْ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi kemudian beliau tidak buka dan tidak pula meng-qadha` (mengganti) puasanya.”


9. Mengakhirkan Buka Puasa
Hal ini juga tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, bahkan yang disunnahkan adalah mempercepat buka puasa ketika telah yakin waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada dalam kebaikan selama ia mempercepat buka puasa, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka.”
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjadikan mempercepat buka puasa sebagai sebab nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menegaskan,
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لَأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini akan terus-menerus nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” Hadits hasan, dikeluarkan oleh Abu Daud no. 2353, An-Nasa`i dalam Al-Kubra` 2/253 no. 2313, Ahmad 2/450, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 3503 dan 3509, Hakim 1/596, Al-Baihaqy 4/237 dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tamhîd 20/23.


10. Menganggap Bahwa Muntah Membatalkan Puasa
Anggapan bahwa semua muntah merupakan hal yang membatalkan puasa adalah salah karena muntah itu ada dua macam:
Muntah dengan sengaja. Ini hukumnya membatalkan puasa. Imam Al-Khaththaby, Ibnul Mundzir dan lain-lainnya menukil kesepakatan di kalangan ulama tentang hal tersebut, walaupun Ibnu Rusyd menukil bahwa Imam Thawus menyelisihi mereka.
Muntah yang tidak disengaja. Ini hukumnya tidaklah membatalkan puasa, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Hal di atas berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihiwasallam) , beliau berkata,
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنَ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya membayar qadha’ dan siapa yang dikuasai oleh muntahnya (muntah dengan tidak disengaja) maka tidak ada qadha’ atasnya.” Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa` no. 673, Imam Syafi’iy dalam Al-Umm 7/252, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 7551 dan Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 2/98 dengan sanad shahih di atas syarat Bukhary-Muslim.
Lihat Al Mughny 3/17-119, Al Majmu’ 6/319-320, Bidayatul Mujtahid 1/385 karya Ibnu Rusyd, Ma’alim As-Sunan 3/261 karya Al Khaththaby, ‘Aunul Ma’bud 7/6, Nailul Authar 4/204, Fathul Bary 4/174, Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/395-404 dan Al-Fath Ar-Rabbany 10/44-45.


11. Menganggap Bahwa Makan dan Minum Dalam Keadaan Lupa Membatalkan Puasa
Anggapan ini tidaklah benar, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim,
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa bahwa ia dalam keadaan berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaknya ia tetap menyempurnakan puasanya (tidak berbuka), karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum.”
Dari hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang berpuasa lalu makan dan minum dalam keadaan lupa maka tidaklah membatalkan puasanya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Lihat Al Majmu’ 6/324 karya Ibnu Qudamah, Syarh Muslim 8/35 karya Imam Nawawy, Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/457-462 karya Ibnu Taimiyah, Al-I’lam 5/203-204 karya Ibnul Mulaqqin, Fathul Bary 4/156-157 karya Ibnu Hajar, Zadul Ma’ad 2/59 karya Ibnul Qayyim dan Nailul Authar 4/206-207 karya Asy-Syaukany.


12. Menganggap Bahwa Bersuntik Membatalkan Puasa
Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, atau infus. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.
Lihat Fatawa Ramadhan 2/485-486.


13. Merasa Ragu Mencicipi Makanan
Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya.
Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ), yang lafazhnya,
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa.” Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/304 no. 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no. 8042 dan disebutkan oleh Imam Bukhary dalam Shahîh -nya 4/132 ( Fathul Bary ) secara mu’allaq dengan shighah jazm dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil 4/85-86.
Berkata Imam Ahmad, “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya, maka tidak ada masalah baginya.” Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Ibnu Aqaîl Al-Hambaly, “Hal tersebut dibenci bila tak ada keperluan, namun bila diperlukan, tidaklah mengapa. Akan tetapi, bila ia mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, hal itu dapat membatalkan puasanya, dan bila tidak masuk, tidaklah membatalkan puasa.” Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 108, “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air.”
Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/479-481 bersama ta’liq-nya.


14. Meninggalkan Berkumur-Kumur dan Menghirup Air ke Dalam Hidung Ketika Berwudhu
Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyariatkan pada setiap keadaan, baik saat berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa pembolehan berkumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqîth bin Saburah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa allihi wa sallam bersabda,
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (kedalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.” Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/18 dan 32, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no. 80, Ath-Thayalisy no. 1341, Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/27, Abu Daud no. 142, Tirmidzy no. 788, Ibnu Majah no. 407, An-Nasa`i no. 87 dan Al-Kubra no. 98, Ibnu Khuzaimah no. 150 dan 168, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1054, 1087 dan 4510, Al-Hakim 1/248 dan 4/123, Al-Baihaqy 1/76, 4/261 dan 6/303, Ath-Thabarany 19/216 no. 483 dan dalam Al-Ausath no. 7446, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhîd 18/223, Ar-Ramahurmuzy dalam Al-Muhaddits Al-Fashil hal. 579, dan Bahsyal dalam Tarikh Wasith hal. 209-210.
Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga di dalam berwudhu yakni tidak membatalkan puasa bila disentuh dengan air, bahkan tidak terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama air tersebut tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke hidung sama dengan berkumur-kumur.
Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath Ar-Rabbany 10/38-39, Syarhul Mumti’ 6/406 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Fatawa Ramadhan 2/536-538.


15. Menganggap Bahwa Mandi dan Berenang atau Menyelam Dalam Air Membatalkan Puasa
Anggapan tersebut salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan puasa sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk ke dalam tenggorokannya.
Berkata Imam Ahmad dalam kitab Al-Mugny Jilid 4 hal 357, “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan.”
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Tidak apa-apa orang yang berpuasa menceburkan dirinya ke dalam air untuk berenang karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai tegak (baca: ada) dalil yang menunjukkan makruhnya atau haramnya dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya dan tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian para ‘ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari.”
Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan lain-lainnya.
Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/387 dan 471, Al-Muhalla 6/225-226 karya Ibnu Hazm dan Fatawa Ramadhan 2/524-525.


16. Menganggap Bahwa Menelan Ludah Membatalkan Puasa
Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya.
Berkata Ibnu Hazm, “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa Billahi Taufiq.”
Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 6/317, “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ulama).”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/473, “Dan Apa-apa yang terkumpul di mulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya ….”
Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman.
Lihat Syarhul Mumti’ 6/428-429 dan Syarhul ‘Umdah 1/476-477.


17. Menganggap Bahwa Mencium Bau-Bauan yang Menyenangkan Membatalkan Puasa
Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 107, “Dan mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa.”


18. Menghabiskan Waktu dengan Perbuatan dan Perkataan Sia-Sia
Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan lainnya,
مَنْ لَمْ يَدْعُ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada hajat (pada amalannya) ia meninggalkan makan dan minumannya.”
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
“Bukanlah puasa itu (menahan) dari makan dan minumannya (semata), puasa itu adalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
Hadits ini menunjukkan larangan untuk berkata sia-sia, dusta, serta beramal dengan pekerjaan yang sia-sia.
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,
إِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ سَابَّهُ فَلْيَقُلْ إِنَّيْ صَائِمٌ
“Apabila ada orang yang mencelanya, hendaklah ia berkata, ‘ Sesungguhnya saya ini berpuasa .’ .”


19. Menyibukkan Diri dengan Pekerjaan Rumah Tangga di Akhir Bulan Ramadhan
Menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga, sehingga melalaikannya dari ibadah pada akhir bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir, adalah hal yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang seharusnya, pada sepuluh hari terakhir, kita lebih menjaga diri dengan memperbanyak ibadah.


20. Membayar Fiyah Sebelum Meninggalkan Puasa
Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasa, seperti wanita yang sedang hamil enam bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu membayar fidyah 30 hari sekaligus saat sebelum Ramadhan atau di awal Ramadhan, tentunya adalah perkara yang salah, karena kewajiban membayar fidyah dibebankan kepada seseorang apabila ia telah meninggalkan puasa, sedangkan ia belum meninggalkan puasa di awal Ramadhan, sehingga belum wajib baginya membayar fidyah.


21. Menganggap Bahwa Darah yang Keluar dari Dalam Mulut Dapat Membatalkan Puasa
Darah yang keluar dari dalam mulut, selama tidak sampai ketenggorokan (tidak tertelan), maka tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 2/214, “Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dalam permasalahan ini, yakni darah yang keluar dari dalam mulut, selama tidak sampai ketenggorokan, maka tidak membatalkan puasa.”
Hal ini disebutkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/477.
Seandainya ada khilaf ‘perbedaan pendapat’ dalam masalah ini, maka pendapat yang kuat yakni tidak membatalkan puasa. Adapun kalau darah itu keluar dari dalam mulut kemudian ditelan dengan sengaja, maka hal ini dapat membatalkan puasa, ini sebagaimana keumuman nash-nash yang ada.
Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan para ulama di zaman sekarang.
Lihat Syarhul ‘Umdah 9/477, Fatawa Ramadhan 2/460, Syarhul Mumti’ 6/429.
Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzî ‘Ilmin ‘Alîm .


salam_sitijamilahamdi
Ustadz Shobaruddin bin Muhammad Arif
Diposkan oleh fajar islami di 10.49
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Label: ramadhan

merasa miskin....

JANGAN PERNAH MERASA MISKIN.........

Banyak orang ngeri mendengar kata miskin. Membayangkan saja pun tidak ingin. Dan setiap kali kata itu terucap, kesan umum yang terbayang adalah kesengsaraan, papa, compang-camping dan kesempitan hidup. Sebaliknya kata kaya membuat orang sumringah dan bergairah.Terlintas di dalam benak berbagai kesenangan hidup dan kemewahan. Hidup serba cukup dengan berbagai fasilitas dan kemudahan akses. Pendek kata, hidup benar-benar hidup.

Dua keadaan di atas adalah lumrah dan manusiawi. Pada dasarnya manusia memiliki hasrat untuk hidup berkecukupan dan amat takut akan kekurangan apalagi kemiskinan. Tetapi, miskin sama sekali berbeda dengan merasa miskin. Sama halnya berbeda antara kaya dengan merasa kaya.


Ada orang berpenampilan sangat sederhana. Hidup serba bersahaja. Rumahnya benar-benar hanya sebatas fungsi primer; sebagai penghalang terik matahari, dari derasnya hujan dan dari derunya terpaan angin. Tetapi ia nyenyak tidurnya walau di atas kasur yang sudah menipis, lapuk dan dingin. Dan pagi-pagi buta sebelum ayam berkokok, ia sudah beraktivitas dengan kecipak air wudunya lalu berdiri mengucap syukur.

Pakaiannya sederhana, sebatas fungsi primernya saja; bersih, menutup aurat dan agar terlindung dari kemungkinan mudharat karena telanjang.

Makanannya juga bersahaja; hanya sebatas fungsi primernya dari mengganja lrasa lapar dan sekedar membuat tulang punggungnya tegak. Namun di balik itu, kekayaan batinnya tak terkira. Investasi ruhaninya tak pernah merugi. Tabungan kebajikannya selalu berbunga dan saham akhiratnya tak pernah anjlok. Ia berkawan baik dengan syukur dan qona'aah. Juga tak pernah ketinggalan dengan infaq dan sedekah.

Ada orang bernampilan perlente, necis dan glamour. Hidup seperti mesin waktu penghasil uang. Pergi gelap pulangnya juga gelap.

Rumahnya adalah prestise dan harga diri. Rancang bangun, arsitektur, interior dan perabot adalah ukuran kelasnya. Pagar halamannya, cukuplah untuk membeli lima rumah sederhana orang biasa. Begitu indah rumahnya, begitu empuk dipan dan hangat selimutnya, tetapi matanya sukar dipenjamkan wala sekejap. Terpaksalah ia menenggak pil tidur dan penenang hanya untuk kenikmatan pulas. Betapa mahal harga tidurnya setiap malam. Sampai tak menghiraukan lagi panggilan Shubuh dan mengucek mata di kala matahari telah tinggi.

Belum lagi baju dengan harga yang tidak rasional menurut ukuran orang kere. Tapi banyak pula dari baju-baju yang mahal itu, tidak sesuai fungsinya. Banyak bagian dari bajunya terbelah. Paha dan dadanya terbelah. Pusar dan punggungnya terbelah. Hingga sukarlah dibedakan antara baju dan bahan baju yang belum selesai ditautkan dengan jahitan.

Menunya asing di telinga dan sukar menyebutnya. Disajikan bak taman pengantin. Dihias rupa-rupa. Kadang dimakan tak habis. Hanya sekedar dicicip lalu berganti menu baru yang sama-sama asing dan sukar dilafalkan. Lapar bukanlah dorongan utama untuk makan. Tetapi sebagai bagian dari protokoler highclass; beginilah sesungguhnya makan dengan harga diri yang amat tinggi.

Semboyannya adalah Time is money. No money no honor.

Tetapi apa lacur, kekayaan materi itu tidak sanggup mengatasi kekosongan ruhaninya. Ruhaninya miskin di tengah tumpukkan kekayaan harta bendanya. Begitu miskinnya ia, sampai-sampai tidak mengerti apa itu sedekah, apa itu zakat dan bagaiamana harta itu harus dibelanjakan di jalan Tuhan.

Begitu banyak orang miskin tapi merasa begitu kaya batinnya. Mereka orang-orang bersahaja yang tidak pernah merasa sukar untuk memberi. Seolah mereka memiliki rizki yang tak terbatas dan tak pernah habis dibagikan. Seperti riwayat Abu Ya'la yang sampai kepada kita :

Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknyaharta-benda tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan jiwa (hati). (HR. Abu Ya'la).

Ada begitu banyak yang kaya dengan kasat mata, tetapi sebenarnya miskin dan selalu kekurangan. Karena kekurangannya ia enggan memberi. Tangannya tertutup rapat dari sedekah. Hatinya selalu menimbang rugi jika berderma. Seolah belum tiba saat baginya untuk berbagi. Ya, belum saatnya untuk orang lain. Masih untuk diri sendiri. Padahal malaikat selalu bersahut-sahutan di atas langit berdo'a. Katanya :

Tiap menjelang pagi hari dua malaikat turun. Yangsatu berdoa: "Ya Allah, karuniakanlah bagi orang yang menginfakkan hartanya tambahan peninggalan." Malaikat yang satu lagi berdoa: "Ya Allah, timpakan kerusakan (kemusnahan) bagi harta yang ditahannya (dibakhilkannya)." (Mutafaq'alaih).

Jangan pernah merasa miskin. Sebab merasa miskin adalah jalan yang mengantarkan seseorang kepada kemiskinan yang ditakuti banyak orang.

Harta yang dizakati tidak akan susut (berkurang). (HR. Muslim)

Menjadilah kaya sekaya Abdurraham bin 'Auf. Lalu ingat-ingat soal kekayaan seperti pesan nabi kepada 'Amru :

Wahai 'Amru, alangkah baiknya harta yang sholeh di tangan orang yang sholeh. (HR. Ahmad)

Allahu a’lam.
salam_sitijamilahamdi

Depok, Ramadhan hari ke-3, Agustus 2010
oleh : abdul mutaqin
Diposkan oleh fajar islami di 11.51
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Label: adab islami
Reaksi:
0 komentar:

masa muda

KEAJAIBAN MASA MUDA......
Antara Kekuatan dan Kemauan
Masa muda menyimpan sejuta keajaiban. Tentunya sejuta keajaiban itu tidak dimiliki oleh fase-fase sebelumnya maupun sesudahnya. Masa muda adalah sebuah fase dalam kehidupan manusia, yang mana dalam diri seorang muda terkumpul dua kekuatan penting dalam hidup. Kedua kekuatan tersebut adalah; al-Quwwah (Kekuatan) dan al-Iradah (Kemauan)
.
Anak yang masih kecil misalnya, ia memiliki kemauan, tapi belum diberikan kekuatan fisik untuk merealisasikan keinginannya itu. Sebaliknya orang yang sudah udzur, kemauan ada tapi kekuatan fisik sudah tidak lagi mendukung. Hanya dalam diri orang muda lah terkumpul dua hal penting tersebut.


Jika seorang remaja mampu menyalurkan kekuatan dan keinginannya pada hal-hal yang positif, maka sungguh sesuatu yang luar biasa akan terjadi pada dirinya. Potensi yang dimilikinya akan benar-benar tergali. Sehingga ia akan menjadi sosok yang produktif dalam berbagai bidang yang digelutinya dalam hidup.

Maka dari itu, sungguh sayang seribu kali sayang jika masa muda ini berlalu begitu saja, tanpa ada sesuatupun yang bisa dipersembahkan untuk hidup di dalamnya. Sehingga tanpa terasa masa tua datang menjelang, meskipun tanpa diundang. Belum ada karya, belum ada persembahan yang berarti dalam hidup yang dilakukannya. Ingin masa muda kembali terulang agar ia dapat berbuat lebih baik dan lebih banyak, namun apalah dikata, itu semua hanyalah mimpi belaka. Masa muda yang hanya sekali tak akan pernah kembali.
Hal inilah yang terkandung dalam firman Allah Swt:

"Allah, dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa." (QS. ar-Rum: 54).

Keadaan lemah itu adalah masa kecil, kemudian keadaan kuat adalah masa muda. Sedang keadaan lemah setelah itu adalah masa tua. Jadi jelaslah disini kita bisa memahami, bahwa masa muda ini adalah masa yang istimewa. Masa yang harus kita manfaatkan dengan baik untuk mengumpulkan energi hidup. Masa yang harus kita gunakan dengan produktif. Bukan malah masa bersantai-santai. Bukan pula masa bermalas-malas. Karena ingat, setelah masa ini berlalu, maka kekuatan itu tak akan kita dapati lagi sebagaimana yang kita dapati di masa ini.
salam_sitijamilahamdi
Diposkan oleh fajar islami di 07.56